Kamis, 27 Februari 2014

WASPADA TERHADAP PELEMAHAN NKRI

Skema Pelemahan NKRI dari Sisi Internal

Dalam diskusi terbatas di Global Future Institute (GFI), Jakarta pimpinan Hendrajit, diperoleh pointers bahwa konflik internal di suatu negara sesungguhnya cuma TEMA dari sebuah SKEMA yang hendak ditancapkan oleh sang Pemilik Hajatan. Artinya apapun bentuk dan warna, baik itu konflik vertikal maupun horizontal, hanya susulan daripada isue-isue yang sebelumnya ditebar (tersebar) di publik. Selanjutnya apakah sukses atau tidak, berhasil atau gagal dari sebuah tema berubah menjadi skema, sangat tergantung daripada segenap komponen bangsa menyikapi. Sedang pada diskusi terbatas di forum KENARI (Kepentingan Nasional RI) pimpinan Dirgo D Purbo, pakar perminyakan, tampaknya lebih "keras" menyikapi konflik-konflik yang sekarang marak terjadi. Conflict is protection oil flow and blockade somebody else oil flow. Ya, konflik diletuskan hanya sebagai alih perhatian guna memblokade kepentingan orang lain dan bahkan melindungi skema aliran minyak agar tidak digugat siapapun, sebab bangsa tersebut disibukkan oleh isue dan tema-tema yang dibuat. Benang merah pointers diskusi di atas terlihat sama, yaitu konflik cuma sekedar tema belaka!

Dokumen GFI terdahulu (baca: Mencermati Kesamaan Kharakter Kolonialisme antara Pola Simetris dan Asimetris, di www.theglobal-review.com) mengisyaratkan, bahwa model kolonialisme yang dikembangkan kini ialah asimetris (non militer). Lazimnya pola asimetris, diawali dengan tebaran isue ke tengah-tengah masyarakat, kemudian dimunculkan tema gerakan dan berujung pada skema. Ya, skema merupakan ruh atau inti tujuan kolonialisasi.

Contohnya ialah Arab Spring atau “Musim Semi Arab”. Dari perspektif politik global, ternyata ia hanya “tema gerakan” melalui kekuatan massa setelah opini publik terbentuk via isue-isue (korupsi, kemiskinan, pimpinan tirani dll) yang digencarkan oleh media, facebook, twitter dan lain-lain. Sedangkan “skema” yang diusung oleh kepentingan Barat di Jalur Sutra (Timur Tengah, Afrika Utara dll) adalah penggusuran rezim, atau istilahnya tata ulang kekuasaan. Inilah pola kolonialisme dari model asimetris asing yang mulai terendus.

Tatkala “Save KPK” di Indonesia kemarin marak, memang sempat dinilai sebagai TEMA gerakan sebab indikasinya sama dengan pola Arab Spring. Misalnya isue yang ditebar soal korupsi (bukankah korupsi di Indonesia diciptakan melalui sistem?), ada isue pemimpin atau institusi tirani, sangat berperannya media, jejaring sosial dan lainnya. Kemudian bila membandingkan aktor atau pemrakarsa gerakan massa antara Arab Spring di Jalur Sutra dengan Save KPK ternyata sama pula, yaitu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang menginduk kepada lembaga donatur internasional atau memiliki link up ke LSM asing. Secara tersirat, sejatinya TEMA model asimetris ala KPK hampir sukses di Bumi Pertiwi. Namun syukurlah tema tersebut gagal melaju ke tahap berikut. Entah kenapa. Karena ketiadaan dana, kurang dukungan, atau keburu ketahuan?

Contoh lain masalah rumor flu burung. GFI melihat rumor tersebut cuma sekedar isue semata, karena tema yang akan diangkat ialah daging mahal atau daging langka, maka skema yang menjadi tujuan pokok adalah impor daging mutlak harus dilestarikan baik kualitas maupun kuantitasnya di Indonesia. Jelas sudah, bahwa skema kolonialis yang tengah disiapkan via isue flu burung adalah “jerat impor” bagi bangsa ini. Demikian pula untuk bidang pangan lainnya seperti beras, ikan, singkong, kedelai, gula, garam, bawang-bawangan, dll sehingga republik ini "dibuat" seperti tidak memiliki kedaulatan sama sekali atas pangan, padahal secara fisik semuanya ada, nyata dan bahkan berlimpah.

Teringat statement Henry Kissinger (1970), “Control oil and you control the nations, control food and you control the people” (Kontrolah minyak kamu akan mengontrol negara, kontrol pangan maka anda mengendalikan rakyat). Sekali lagi, retorika menggelitik pun timbul: “Apakah bangsa ini tidak sedang dilumpuhkan kedaulatan pangannya melalui skema jerat impor oleh asing?”. Retorika ini tidak butuh jawaban agar artikel ini bisa diteruskan. Tetapi yang lebih mengerikan lagi ialah isyarat Vandana Shiva, bahwa bila kolonialisasi lama hanya merampas tanah, sedangkan kolonialisasi baru merampas seluruh kehidupan!

Merujuk judul dan uraian di atas, mencermati konflik antara TNI versus Polri di Ogan Komering Ulu (OKU) dari perspektif politik global, sesungguhnya kasus tersebut hanyalah tema belaka. Lalu apa kelanjutan skema? Hasil diskusi GFI merekomendasi bahwa konflik antar aparat di OKU diprakirakan merupakan skema pelemahan bangsa via pencerai-beraian elemen dan pecah belah dari sisi internal. Ini yang mutlak diwaspadai bersama oleh segenap tumpah darah Indonesia dimanapun berada dan berkiprah.

Tak dapat dipungkiri, TNI-Polri adalah organ-organ perekat bangsa. Bahkan di antara berbagai elemen-elemen bangsa lain, keduanya masih solid hingga kini, sebab keduanya merupakan anak kandung revolusi (kemerdekaan) dulu. Tak bisa tidak, TNI-Polri itu benteng terakhir dari sebuah sistem kedaulatan bangsa. Apabila retak kedua institusi niscaya bakal pecahlah bangsa dan negara. Ini harus disadari bersama oleh segenap komponen bangsa!

Jujur harus diakui, dinamika politik menjelang Pilcaleg/Pilpres 2014 saat ini , kendati terlihat glamour namun tidak bermakna apa-apa bagi kesejahteraan rakyat, apalagi untuk Kepentingan Nasional RI. Segenap elit dan partai politik dibuat sibuk, asyik dan porak-poranda oleh korupsi; organisasi massa dibentur-benturkan melalui pragmatisme; para pemuda dan mahasiswa diracuni narkoba serta disusupi dogma-dogma impor atas nama kebebasan dan demokrasi di tataran hilir, dll. Tampaknya media massa terutama media mainstream memiliki kontribusi luar biasa atas “keretakan” yang tengah terjadi pada bangsa ini, karena media massa cuma sekedar memberitakan secara gegap gempita tentang isue-isue, tema, kemudian ke isue lagi, lalu ke tema lagi, demikian seterusnya cuma mengejar gegap rating tanpa solusi jelas.

Mengakhiri handout singkat lagi sederhana ini, kiranya segera dihentikan dampak dan polemik yang merambah kemana-mana justru semakin menjauh dari Kepentingan Nasional RI. Padamkan solidaritas sempit dan jangan kembangkan ego sektoral yang kontra produktif, agar tema yang sudah tergelar di OKU tidak melaju ke tahap skema gerakan asing, yakni pelemahan NKRI dari sisi internal melalui konflik antar TNI versus Polri.

Ingatlah wahai bangsaku, damai itu indah! Aman itu sejahtera!


 sumber : - Arif Pranoto FB
               - Google



Signature by           
                      DAENG LIRA

Senin, 24 Februari 2014

Buang Perbedaan, Buang Rasa Egois dan Baca kejadian Alam

(Perspektif Spiritual Agama)
 Oleh : Tri Budi Marhaen Darmawan

Bencana demi bencana yang terjadi di bumi pertiwi ini sesungguhnya merupakan tanda peringatan keras Allah kepada bangsa ini yang secara khusus tertuju kepada elite pimpinan nasional baik ulama maupun umaro’nya. Untuk tidak mencari kambing hitam dari segala peristiwa yang terjadi, maka kita semua memahami akan dalil di dalam manajemen perusahaan (leadership) bahwa : “Tidak ada bawahan yang salah. Yang ada adalah pimpinan yang salah.” Begitu pula dalam konteks negara sebagai sebuah perusahaan : “Tidak ada rakyat yang salah, melainkan pemimpin-nyalah yang salah.”
Untuk memahami tulisan ini dibutuhkan perenungan yang mendalam. Diawali dengan pemahaman bahwa di dalam hakekat kehidupan ini “tidak ada yang namanya ‘Kebetulan’.” ‘Kebetulan’ yang terjadi hakekatnya adalah ketetapan yang telah ditetapkan-Nya. Manusia dengan akalnya yang terbatas hanya bisa saling berkomentar dan beranalisis dengan berbagai macam teori ilmu pengetahuan tentang suatu kejadian setelah kejadian itu terjadi. Sebuah bukti bahwa akal (penalaran) dan ilmu pengetahuan adalah nisbi. Menghadapi bencana yang terjadi, manusia tidak akan mampu mencegahnya melainkan hanya mampu menangani akibat-akibatnya. Sangatlah tidak arif dan bijak apabila setiap bencana yang terjadi ditanggapi dengan statement : “Itu bukan kutukan dari Allah dan bisa dijelaskan secara ilmiah, serta janganlah dihubung-hubungkan dengan takhayul.” Pernyataan ini menggambarkan arogansi penalaran (berpikir ala barat) yang semakin menjauhkan diri dari Sang Khalik, dan akan selalu menjadi bumerang bagi kehidupan bangsa ini.
Dengan merenung dan berpikir kita akan menjadi mawas diri. Terlalu mengandalkan akal bisa menjadikan kita sesat dan ingkar. Lahir dan batin harus menyatu. 

Mari kita renungkan bersama ayat-ayat berikut ini :

“Katakanlah : “Kabarkanlah kepadaku jika Allah mencabut pendengaran dan penglihatan kamu serta menutup hati kamu? Siapakah Tuhan selain Allah yang mengembalikannya kepadamu?” Perhatikan bagaimana Kami memperlihatkan tanda-tanda kemudian mereka tetap berpaling.” (QS 6 : 46)
“Aku akan memalingkan daripada ayat-ayat-Ku orang-orang yang takabur di muka bumi tanpa alasan yang benar. Dan jika mereka melihat tiap-tiap ayat, mereka tidak beriman kepadanya. Dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka menempuhnya. Yang demikian itu adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka lalai daripadanya.” (QS  7 : 146)

Apakah selama ini kita pernah berpikir dan merenung mencari jawab atas bencana yang terjadi ? Mengapa tsunami yang banyak memakan korban jiwa (setara dengan korban bom atom Hiroshima – Nagasaki) harus terjadi di bumi Aceh (serambi Mekah)? Mengapa sampai saat ini kita masih dipusingkan dengan Flu Burung yang mewabah dan belum diketemukan obatnya ? Mengapa di saat yang lain terjadi KKN (kasus kesurupan nasional) di berbagai kota yang terjadi secara spontan dan beruntun di tempat-tempat pendidikan dan pabrik rokok ? Mengapa Merapi harus memuntahkan laharnya dan sempat membingungkan kita semua ? Mengapa gempa yang meluluhlantakkan pemukiman dan banyak memakan korban jiwa terjadi di Yogyakarta ? Mengapa terjadi bencana lumpur panas mengandung gas di Sidoarjo yang sampai saat ini belum bisa teratasi ? Dan deretan pertanyaan mengapa-mengapa yang lain. Rasa-rasanya satu bencana belum tuntas teratasi, muncul bencana-bencana yang lain. Apakah dengan rangkaian kejadian-kejadian itu masih tetap mengeraskan hati kita untuk tetap berdiri di atas arogansi akal ilmiah kita ? Terlebih lagi di saat kondisi sosial ekonomi negara ini sudah semakin terpuruk dan memburuk.
Dilihat dari perspektif spiritual, hakekat segala apa yang terjadi merupakan refleksi atau pantulan cermin dari bangsa ini yang diwakili oleh pemimpin bangsanya. Secara singkat dapatlah diurai hakekat dari bencana-bencana besar yang terjadi di bumi Nusantara ini. Tsunami Aceh yang telah memakan korban jiwa terbesar di bumi dimana telah diimplementasikan syariat Islam ini merupakan awal peringatan yang sangat keras, yang menyiratkan telah terjadi “Pelanggaran Aqidah” pada bangsa ini. Fenomena kerasukan jin/setan merupakan gambaran apa yang terjadi pada bangsa ini. Setan-setan korupsi, kekuasaan, keserakahan, kriminal, dan lainnya telah merasuk pada sebagian besar anak negeri. Korban yang rata-rata perempuan melambangkan bahwa Ibu Pertiwi sedang marah, menjerit, menangis dan meronta menyaksikan apa yang terjadi pada bangsa ini. Ibu-ibu rumah tangga se-antero nusantara pun merasakan hal yang sama menghadapi tekanan sosial dan ekonomi saat ini. Tempat pendidikan melambangkan sindiran kepada kaum terdidik yang selalu mendewakan akal. Pabrik rokok ibarat kerajaan yang mengolah hasil bumi tembakau menjadi rokok sebagai komoditi terlaris melambangkan kejayaan yang berdiri di atas penderitaan buruh atau rakyat kecil. Rahmat Allah tidak dibagikan secara adil bagi kesejahteraan rakyat. Nampaknya, kita memang kurang bersyukur atas limpahan rahmat yang telah diberikan-Nya.
Aura panas “wedhus gembel” tengah menyelimuti bangsa ini yang ditunjukkan dengan episode-episode ketidakpuasan yang menyulut emosi rakyat dalam berbagai konflik kepentingan. Potret ini dilambangkan dengan muntahnya lahar panas gunung Merapi. Sementara Merapi masih terus mengancam, secara sontak Yogyakarta sebagai simbol pusat budaya Kerajaan Mataram digoyang gempa yang meluluhlantakkan ribuan pemukiman dan banyak memakan korban jiwa. Secara hakekat peristiwa gempa Yogyakarta yang menghancurkan Bangsal Traju Emas (ruang penyimpanan pusaka keraton) dan Taman Sari (pemandian dan tempat pertemuan Raja dengan Kanjeng Ratu Kidul) menyiratkan memudarnya aura kerajaan sebagai simbol pemerintahan negeri ini.
Ketika bangsa ini masih disibukkan dalam mengatasi korban gempa Yogyakarta, kesibukan dan kepanikan baru muncul sebagai dampak meluapnya lumpur panas bercampur gas di Sidoarjo Jatim yang hingga kini belum dapat teratasi. Lepas dari kesalahan apa dan siapa penyebab kebocoran dalam eksplorasi sumber gas tersebut, bencana lumpur panas mengandung gas ini melambangkan kekotoran moral elite pemimpin bangsa ini yang membawa aura panas dan bau menyengat. Situasi ini berakibat rakyat kecil selalu menjadi korban.
Hubungan antara manusia dengan alam senantiasa berubah, seiring perkembangan teknologi, informasi, dan industrialisasi. Suku-suku di pedalaman, bahkan sampai saat ini masih melaksanakan ritual-ritual tertentu untuk bersahabat dengan alam. Mereka, mengambil kayu atau hasil bumi secukupnya. Alam tidak dieksploitasi sekehendak hatinya. Walaupun suku-suku primitif tersebut belum tersentuh ajaran agama formal, mereka telah memiliki kesadaran religius yang baik. Mereka mampu mengembangkan nalurinya bahwa merusak pohon atau membunuh binatang sembarangan akan mendatangkan bencana.
Kita sebagai bangsa kenyataannya telah kehilangan kearifan pada alam dan lingkungan. Dengan makin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, perlu kita akui secara jujur bahwa atas nama “penalaran dan logika”, secara sadar atau tidak kita telah mengikis budaya warisan leluhur dalam mengarifi alam dan lingkungan. Teknologi ujung-ujungnya digunakan untuk menaklukkan alam. Manusia tidak lagi bergantung pada alam, namun malahan menguasai alam dengan dilandasi keserakahan.
Secara jujur pula perlu diakui, bangsa ini khususnya elite pimpinan nasional telah terjebak di alam materialisme yang penuh tipu daya dan menyesatkan. Alih-alih menyejahterakan rakyat. Yang terjadi hutang luar negeri-pun makin membumbung tinggi. Dari total hutang Indonesia sekitar Rp 1.400 triliun, APBN 2006 yang besarnya Rp 650 triliun, 39% nya hanya untuk membayar hutang dan bunganya. Sungguh merana anak cucu negeri ini dengan bebannya.
Nampaknya sebagian besar bangsa ini telah kehilangan adab. Adab kepada Allah Azza wa Jalla, juga adab kepada sesama manusia serta alam dan seluruh isinya. Pada masa ini Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa yang adiluhung sekedar menjadi slogan semata. Para elite pemimpin negeri ini hanya sibuk berkutat pada ranah politik dan upaya perbaikan ekonomi. Namun sangat ironis, pada kenyataannya kebijakan pemerintah seringkali menyengsarakan rakyatnya. Ironis pula, menurut Transperancy International pada tahun 2005 peringkat korupsi Indonesia menempati rangking 137 (25 besar) dari 159 negara di dunia.
Betapa memprihatinkannya melihat potret situasi carut marut yang terjadi pada bangsa ini. Memang sudah sejak sekian lama bangsa ini sakit. Ibu Pertiwi tidak sekedar menangis dan bersedih, akan tetapi mulai menunjukkan angkaranya. Geram menyaksikan banyak penyimpangan akhlak yang dilakukan oleh anak negeri ini. Marah melihat polah tingkah anak bangsa yang makin jauh dari jiwa Pancasila sebagai Pandangan Hidup yang telah ditegakkan di bumi nusantara ini. Para elite pimpinan bangsa malah terkesan tidak memberikan teladan yang baik di mata rakyat. Sejak jaman orba hingga saat ini yang dipertunjukkan hanyalah bagaimana memenuhi kepentingan diri dan kelompoknya. Jiwa nasionalisme yang seharusnya tertanam dalam dada seluruh rakyatnya seakan luruh hilang tak berbekas.
Pada akhirnya kita semua tidak tersadar bahwa bumi NKRI dimana kita berpijak telah berubah arti menjadi “Negara Kapling Republik Indonesia” (?). Betapa tidak, aset-aset strategis dan berharga bumi ini telah jatuh ke tangan asing. Kita lihat di bumi Papua ada Freeport di sana. Caltex di Dumai. Di Sulawesi ada Newmont, dan masih banyak lagi. Bahkan akhirnya, Blok Cepu-pun jatuh ke tangan Exxon. Memprihatinkan memang. Belum lagi terhitung aktivitas bisnis illegal yang mengeruk aset bumi ini untuk kepentingan asing, baik perikanan, pertambangan, maupun kehutanan.
Sebagian besar bangsa ini makin jauh dari Sang Khalik. Agama hanya dijadikan stempel. Ibadah dilakukan sekedar formalitas belaka. Penghayatan agama belum diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Seakan masing-masing terpisah berada pada sisi yang berbeda. Bahkan sebagian besar dari kita lupa, padahal sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” telah ditempatkan pada sila pertama, menjadi yang utama. Ini merupakan wujud kesadaran spiritual tertinggi the founding father’s bangsa ini dalam menempatkan Tuhan sebagai sentral Pandangan Hidup pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Sudah saatnya bagi kita semua anak bangsa melakukan introspeksi dan bangkit menuju kesadaran bahwa kita sebagai makhluk ciptaan-Nya wajib memiliki rasa rumangsa lan pangrasa (menyadari) bahwa keberadaan di dunia ini sebagai hamba ciptaan Ilahi, yang mengemban tugas untuk selalu mengabdi hanya kepada-Nya.  Dengan pengabdian yang hanya kepada-Nya itu, manusia wajib melaksanakan tugas amanah yang diemban, yaitu menjadi khalifah pembangun peradaban serta tatanan kehidupan di alam semesta ini, agar kehidupan umat manusia, makhluk hidup serta alam sekitarnya dapat tenteram, sejahtera, damai, aman sentosa, sehingga dapat menjadi wahana mencapai kebahagiaan abadi di alam akhirat kelak (Memayu hayu harjaning Bawana, Memayu hayu harjaning Jagad Traya, Nggayuh kasampurnaning hurip hing Alam Langgeng). Dengan sikap ketakwaan ini, semua manusia akan merasa sama, yaitu  berorientasi serta merujukkan semua gerak langkah, serta sepak terjangnya, demi mencapai ridlo Ilahi. Sikap takwa mendasari pembangunan watak, perilaku, serta akhlak manusia. Sedangkan akhlak manusia akan menentukan kualitas hidup dan kehidupan.
Bung Karno pernah menulis, mengingatkan kita pada sebuah seloka dari Ramayana karya pujangga Valmiki, mengenai cinta dan bakti kepada Janani Janmabhumi – yaitu agar setiap orang mencintai Tanah Airnya seperti ia mencintai ibu kandungnya sendiri. Dan cinta Bung Karno terhadap kosmos itu diawali dari Bumi tempat kakinya berpijak, bumi pertiwi Indonesia yang disapanya dengan takjub dan hormat sebagai “Ibu.” Pancaran cinta dan kasih sayang yang murni akan dapat membuka pintu rahmat-Nya. Mencintai sesama berarti mencintai Tuhan, bahkan mencintai alam berarti mencintai Sang Pencipta.
Insya Allah dengan limpahan kasih sayang anak negeri ini akan membuat Ibu Pertiwi tersenyum sumringah. “Ya Allah, jauhkan kami anak negeri ini dari seburuk-buruk makhluk-Mu sebagaimana firman-Mu :
“Sesungguhnya telah Kami sediakan untuk penghuni neraka dari golongan jin dan manusia; mereka mempunyai hati, tetapi tidak menggunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), mereka mempunyai mata, tetapi tidak dipergunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), mereka mempunyai telinga tetapi tidak dipergunakan untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka adalah orang-orang yang lalai”
(Qs 7:179)
Dengan ijin dan ridho Allah SWT, menjadi tugas kita di masa depan mewujudkan Indonesia Raya sebagai “Negara Kaya Rahmat Ilahi” (NKRI) demi kesejahteraan seluruh rakyatnya. Insya Allah, dengan pendekatan spiritual murni segala kejadian yang terjadi di bumi Nusantara ini dapat diketahui jawabannya dan solusinya. “Sakbeja-bejane kang lali, luwih beja kang eling lawan waspada”.
 * * *


Sumber: Bang Nurahmad Blog


Signature by           
                      DAENG LIRA

Sabtu, 22 Februari 2014

Waspada terhadap komprador2 yg pernah memainkan perannya di tahun 1998

 
Ukraina : Suriah di Timur Eropa (Cermin Pembelajaran untuk Indonesia)



Sedikit beralih tema, diberita-berita kita menyaksikan kericuhan berdarah yang melanda negara Eropa Timur Ukraina. Sudah cukup banyak jatuh korban, baik yang tewas maupun terluka.

Berikut kronologis dan motif sebenarnya dibalik kericuhan atas nama demokrasi tersebut :

Pada tahun 2010, Presiden Ukraina terpilih Viktor Yushchenko menolak tawaran bergabung dengan NATO dan lebih memilih system keamanan kolektif Eropa yang diinisiasi Presiden Rusia Dmitry Medvedev.

Tawaran untuk bergabung untuk bergabung dengan NATO ini sepenuhnya didukung oleh Presiden Amerika, George W. Bush. Tetapi antusiasme Washington itu sempat ditolak pada pertemuan puncak NATO di Bucharest tahun 2008 karena tekanan dari Jerman dan Perancis, yang khawatir bahwa langkah tersebut akan mendorong langkah negatif Rusia.

Tidak hanya itu, Presiden Ukraina pun menolak atau menunda-nunda untuk bergabung dengan Uni Eropa (UE). Sehari sebelum konflik berdarah di Ukraina pecah, bahkan Yushchenko justru menyepakati bantuan finansial dari Rusia.

Para demonstran dari oposisi itu bertujuan mengganti pemerintahan Yushchenko yang sah, untuk digantikan dengan rejim sayap kanan yang berkomitmen penuh untuk mengintegrasikan Ukraina dengan UE.

Tetapi ketika voting di parlemen Ukraina bergerak pada hasil yang bertentangan dengan kehendak kaum oposisi, maka demonstran bergerak menyerang menyerang markas Partai yang berkuasa di daerah setempat. Bentrokan antara polisi dan pengunjuk rasa meletus dan menyebar ke seluruh kota.

Bentrokan berdarah ini adalah puncak dari gelombang protes yang telah terjadi 3 bulan terakhir.

19 orang tewas, 200 orang lainnya terluka serius. Anehnya semua tanggung jawab dibebankan pada Yushchenko. Dia dianggap bersalah dan berlumuran darah.

Kaum oposisi kebanyakan berafiliasi dengan partai Svoboda yang berhaluan neo-fasis dan kelompok sayap kanan ekstrim lainnya. Rata-rata mereka dipersenjatai. Salah satu organisasi fasis yang terlibat, Right Sector, menyeru seluruh oposisi bersenjata untuk merebut Independence Square dan bertempur melawan pemerintah.

Pimpinan oposisi, Vitali Klitschko, kepala Partai UDAR (Tinju), memiliki hubungan dekat dengan Jerman. Dalam sebuah pertemuan 17 Februari lalu di Berlin, Klitschko dan Arseniy Yatsenyuk (pimpinan oposisi dari Fatherland Party) menyeru pada Angela Merkel dukungan yang lebih luas.

Di hari yang sama, Rusia sepakat mengucurkan dana pinjaman sebesar $2 milyar pada Ukraina. Ini jelas bisa menggagalkan upaya UE untuk mengisolasi Ukraina dari orbit politik Rusia.
Pejabat tinggi Deplu Amerika, Victoria Nuland telah beberapa kali menemui pemimpin oposisi Ukraina, termasuk pimpinan Partai Svoboda, Oleg Tyahnybok. Sebuah bocoran pembicaraan telpon antara Nuland dan Dubes AS untuk Ukraina, Geoffrey Pyatt, mengekspose pengembangan manajemen mikro Amerika terhadap beberapa pimpinan oposisi untuk membentuk satu pemerintahan satelit.

Tyahnybok, yang pda tahun 2013 sempat dilarang masuk Amerika karena sikap anti-semit (anti Yahudi), kini dirangkul Nuland atas nama pemerintahan Obama dengan alasan “Setiap orang/kelompok memiliki hak untuk mengekspresikan sikapnya.”

Ukraina adalah bagian dari scenario panjang Barat (Amerika) dalam dua dekade terakhir untuk mengisolasi Rusia sejak kejatuhan rejim Komunis Soviet tahun 1991. Ukraina pada tahun 1990-an telah mengalami gejolak politik dengan Revolusi Warna yang disokong Amerika melalui LSM-LSM seperti NED, NDI, Rand Corp.

Kini, Ukraina mengalami Revolusi Warna jilid II karena kebijakan Presidennya yang menolak masuk NATO dan tidak ingin terintegrasi dengan UE.

Ini cerminan bagi Indonesia, karena kita hari ini sedang diupayakan untuk menjauhi China dan Rusia. Tetapi sebagai Negara dengan haluan politik Bebas Aktif, kita dapat menentukan kemana pun kita dekat tanpa harus tunduk.

Yang patut diwaspadai adalah pada komprador yang bekerja di dalam negeri. Kulit dan bahasanya sama dengan kita, tetapi niat dan ideologinya beda.

==========================================================
Tidak perlu apriori dengan teori konspirasi. Lagi pula ini bukan teori, ini operasi intelijen


Zionist Bernard-Henri Levy ... Libya , Syria , Ukreine


Sumber: Berbagai sumber

Signature by           
                      DAENG LIRA