AKAR MASALAH TERORISME
Masalah terorisme selalu menjadi perhatian publik di Indonesia. Beragam
pendapat diutarakan, beragam solusi diusulkan, namun sangat jarang yang
melihat akar persoalannya.
Presiden SBY, diamini para pembantunya, berusaha meyakinkan bahwa akar
terorisme adalah kemiskinan dan kebodohan. Sebuah analisis yang kurang
cerdas mengingat beberapa orang yang dituduh teroris justru bukan orang
bodoh dan miskin.
Dr. Azahari misalnya, seorang doktor dan
dosen universitas ternama. Jelas dia tidak bodoh, tidak juga miskin atau
pengangguran tanpa kerjaan. Di level dunia, tertuduh gembong teroris
adalah Usamah bin Ladin, seorang lulusan univertas dan pengusaha
konstruksi terkemuka di Timur Tengah. Wakil Usamah adalah dr. Ayman Azh
Zhawahiri, seorang dokter spesialis bedah. Bodoh sekali orang yang
menganggap Ayman miskin dan bodoh.
Dari beberapa contoh tadi,
jelas analisis tersebut kurang valid, kalau tidak bisa dibilang ngawur.
Mungkin juga yang ngawur bukan SBY, melainkan para pembantu dan
pembisiknya.
Di sisi lain, kelompok liberal dan sekuler melihat
bahwa penyebabnya adalah ajaran agama Islam. Ayat-ayat dan hadits yang
mendorong perilaku radikal dituding jadi kambing hitam. Ini sejalan
dengan upaya Amerika untuk menghilangkan poin-poin syariat Islam tentang
jihad fi sabilillah yang dianggap sebagai biang ideologi terorisme. Di
Timur Tengah, misalnya, mereka mengedarkan Furqanul Haq. Sebuah versi
Al-Quran edisi minus ayat-ayat jihad.
Padahal, tak hanya Islam,
agama lain juga memiliki konsep "jihad." Lihat saja Kristen, apa yang
membuat mereka bisa melancarkan Perang Salib selama beberapa abad kalau
bukan konsep mereka tentang Holy War?
Maka pandangan kelompok
liberal dan sekuler ini tidak fair. Mereka ingin dunia damai dan aman
dari terorisme, tetapi kuncinya dengan mengebiri semangat perlawanan
umat Islam pada penindasan dan penjajahan. Maklum saja, majikan mereka,
bangsa-bangsa penjajah Barat, sangat khawatir menghadapi perlawanan
jihad Muslim.
Pada masa lalu, Inggris menciptakan
sekte sesat bernama Ahmadiyah di India yang sedang dijajahnya.
Pemimpinnya, Mirza Ghulam Ahmad, mengharamkan jihad melawan Inggris. Ia
juga membanggakan Inggris sebagai tuan besar yang wajib ditaati. Yang
lebih gila, ia mengaku nabi dan mengkafirkan orang Islam yang tak
percaya pada kenabiannya.
Sangat jelas bahwa Inggris ingin
melemahkan semangat jihad Islam agar bisa leluasa menjajah India.
Menguasai dan menguras potensi alamnya. Sebuah metode menetralisir musuh
agar tak terus melawan.
Padahal melawan penindasan, perang dan
militer adalah hal yang manusiawi. Manusia pasti ingin survive. Manusia
pasti ingin melawan jika ditindas dan diperlakukan tak adil. Apapun
agamanya, apapun rasnya. Bahkan semut pun menggigit jika manusia merusak
sarangnya.
Terorisme yang dituduhkan kepada sekelompok umat
Islam yang berjihad sebenarnya adalah upaya perlawanan. Sudah terlalu
lama umat Islam dijajah, ditindas dan dikuras kekayaannya. Sudah terlalu
banyak darah tertumpah oleh bangsa-bangsa penjajah Barat yang kafir.
"Teroris" menyerang sasaran sipil karena Inggris, Amerika dan penjajah
lain tak segan membantai Muslim sipil. "Teroris" meledakkan bom karena
negeri-negeri Muslim yang dijajah diratakan dengan rudal dan roket.
"Teroris" merampok musuhnya karena kekayaan alam negeri mereka dikuras
para penjajah dengan bantuan boneka lokal yang setia pada tuannya.
Akar persoalan teroris, jika mau jujur, sebenarnya adalah upaya
menuntut keadilan. Rangkaian bom Natal dan bom Bali terjadi karena
dipicu serangan Kristen pada Muslim di Ambon. Muslim dizhalimi tetapi
tak ada pembelaan memadai dari aparat keamanan. Pada titik ini
pembalasan menjadi pilihan.
Bahkan jika ditarik lebih jauh,
munculnya Darul Islam (DI/TII) pada 1949 pun merupakan reaksi Muslim
pada ketidakadilan. Awalnya Muslim dan Kristen sudah sepakat dalam
perumusan UUD 1945. Panitia Sembilan menyepakati Piagam Jakarta yang
menjamin berlakunya syariat Islam bagi Muslim dengan rumusan “Ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya."
Baru sehari merdeka, kesepakatan itu dikhianati, seorang tokoh Kristen
dari Indonesia Timur mengancam akan keluar dari NKRI. Melalui seorang
perwira Jepang, tokoh itu menekan Soekarno dan Hatta agar menghapus
kewajiban menjalankan syariat Islam dari Konstitusi. Inilah benih
separatisme pertama dalam sejarah Indonesia, mengancam memisahkan diri
dari republik karena dengki pada umat lain yang ingin menjalankan
syariatnya.
Akibatnya terjadilah kezhaliman hukum. Umat Islam
mayoritas tetapi dihalangi menjalankan hukum syariatnya. Mereka dipaksa
tunduk pada hukum Kristen dan sekuler warisan Belanda. Apalagi diplomasi
Soekarno waktu itu begitu mengalah pada Belanda, perundingan Rennville
membuat Jawa Barat dikosongkan. Wilayah dan penduduknya yang Muslim
seolah diserahkan pada Belanda.
Inilah yang memicu Darul Islam
berdiri. Ketidakadilan persoalan hukum dan ketidakpuasan karena
diserahkan pada Belanda. Ini juga akar semua perlawanan Islam di
Indonesia. Sebenarnya mereka hanya menuntut satu hal saja, bisa
menegakkan syariat Islam untuk dirinya sendiri.
Namun keinginan
itu selalu dihalang-halangi. Para aktornya pun selalu itu-itu saja.
Piagam Jakarta dijegal berkat tekanan seorang tokoh Kristen. Renville
ditandatangi PM Amir Syarifudin yang Kristen. Komji hingga Tanjung Priok
didalangi oleh Benny Moerdani.
Terakhir, konspirasi itu
semakin telanjang. Muslim di Kalimantan dibantai oleh Dayak Kristen,
berlanjut ke Ambon dan Poso. Kasus di Poso bahkan menunjukkan adanya
kerjasama Protestan dan Katholik. Fabianus Tibo cs yang Katholik
memimpin serangan awal kepada Muslim. Belakangan mereka merasa
diumpankan oleh kelompok Protestan.
Kemudian, Muslim bereaksi
dan melawan. Mereka berhasil membalas dan menghentikan kezhaliman
Kristen. Tetapi mereka yang melawan kemucian diberi cap teroris dan
disikat tanpa ampun dengan Densus 88. Unit khusus yang dibiayai Amerika
dan Australia.
Unit itu jelas sekali diproyeksikan untuk
memusuhi Muslim. Mereka dipuji-puji ketika menangkap, menyiksa dan
membunuh Muslim. Namun ketika mereka menangkap aktivis RMS, Australia
mengancam akan menyelidiki kasus itu sebagai "pelanggaran HAM"
Kini Densus 88 diotaki oleh Gorries Mere. Secara resmi komandannya Tito
Karnavian. Namun insiden ributnya Densus di Polonia dengan Provost AU
membuktikan hal lain. Gorries memimpin langsung di lapangan meskipun ia
sebenarnya bertugas di Badan Narkotika Nasional (BNN).
Semua
rangkaian di atas membuktikan satu hal: semua kezhaliman yang menimpa
umat Islam di Indonesia dan seluruh dunia merupakan buah konspirasi
penjajah Barat yang Kristen dengan boneka lokalnya. Sementara semua aksi
perlawanan, yang dicap terorisme, adalah reaksi terhadap kezhaliman
tersebut. Inilah akar terorisme yang sebenarnya