Menurut Undang-Undang No.2 tahun 2002 tentang Kepolisian Nasional, polisi termasuk kelompok profesi khususnya tenaga penegak hukum, yang bertugas untuk membimbing, memelihara keamanan, dan atau melatih masyarakat. Siapapun akan mengakui bahwa keberadaan polisi tidak dapat dilepaskan dalam keseluruhan kehidupan umat manusia.Dalam pengertian terbatas, polisi diartikan sebagai satu sosok individu yang berada di depan dalam usaha sebagai individu maupun kelembagaan untuk menegakan keamanan dan ketertiban masyarakat. Secara lebih luas, polisi mempunyai makna sebagai seseorang yang mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk mengayomi masyarakat dalam mengembanghkan kepribadiannya, baik yang berlangsung di masyarakat maupun luar masyarakat.
Hak-hak asasi polisi sebagai pribadi, pemangku profesi kepolisian, anggota masyarakat, dan warga negara perlu mendapat prioritas dalam reformasi penegakan hukum dan nasional. Upaya pembenahan kurikulum, perbaikan sarana, penyesuaian peraturan, jelas sangat penting. Dengan demikian upaya reformasi kepolisian harus dimulai melalui penataan SDM polisi terutama dalam mutu profesi dan kesejahteraannya yang meliputi: imbalan jasa yang wajar, suasana rasa aman dalam bekerja, kondisi kerja yang baik, hubungan antar pribadi yang sehat, dan kesempatan peningkatan diri dan karir.
Dalam keseluruhan usaha menciptakan pengayoman dan rasa aman masyarakat, polisi memegang posisi yang paling strategis. Oleh karena itu, dalam program reformasi kepolisian, kesejahteraan dan rekrutmen polisi hendaknya menjadi pusat perhatian dalam penataannya. Semua itu hanya mungkin terwujud apabila para polisi mendapat peluang yang besar untuk pemberdayaan dirinya dalam nuansa paradigma penegakan hukum dan bukan dalam paradigma birokratis yang kaku atau paradigma lainnya. Alangkah idealnya apabila semua pihak dapat menempatkan polisi dalam posisi yang tepat yaitu sebagai insan penegakan hukum melakukan tindakan nyata dalam upaya pemberdayaanya sesuai dengan hak-hak asasinya.
Dalam maraknya arus informasi pada masa kini, polisi bukan lagi satu-satunya sumber informasi, akan tetapi salah satu sumber informasi. Namun, perannya dalam proses masih tetap diperlukan khususnya yang berkenaan dengan sentuhan-sentuhan psikologis-keamanan terhadap masyarakat. Diakui atau tidak, setiap manusia pernah menerima bantuan atau berhubungan dengan polisi, entah di masyarakat atau di luar masyarakat entah SD, SLTP, SM, PT, atau di lembaga penegakan hukum lainnya. Hal ini mempunyai makna bahwa polisi mempunyai andil dalam pembentukan kepribadian seseorang. Oleh karena itu, pada hakekatnya polisi itu dibutuhkan oleh setiap orang, dan pada sudah tempatnya kalau semua orang sangat mengidamkan kehadiran citra polisi yang ideal dalam dirinya.
Dari sudut pandang masyarakat, polisi yang diharapkan adalah sosok yang dapat menjadi mitra masyarakat. masyarakat sangat mengidamkan agar polisi itu menjadi teladan di masyarakat sehingga dapat melengkapi, menambah, memperbaiki pola-pola penegakan hukum dan di dalam keluarga. Pihak pemerintah, mengidamkan agar para polisi itu mampu berperan secara profesional sebagai unsur penunjang kebijakan dan program pemerintah terutama di bidang penegakan hukum. Dengan perkataan lain, polisi merupakan wakil pemerintah dan wakil masyarakat di lembaga penegakan hukum dan , dan wakil lembaga penegakan hukum dan di masyarakat. Polisi merupakan unsur masyarakat yang diharapkan mampu mempersiapkan anggota masyarakat yang sebaik-baiknya.
Dari sudut pandang budaya, polisi merupakan subyek yang berperan dalam proses pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam pelestarian nilai-nilai budaya sebagai bangsayang beradab (policing). Demikianlah kehadiran sosok polisi ideal itu merupakan harapan semua pihak. Secara ideal polisi yang diharapkan adalah polisi yang memiliki keberdayaan untuk mampu mewujudkan kinerja yang dapat mewujudkan fungsi dan perannya seoptimal mungkin. Perwujudan tersebut terutama tercermin melalui keunggulannya dalam memelihara keamanan, hubungan dengan pihak lain, sikap dan ketrampilan profesionalnya. Penampilan semua itu dapat terwujud apabila didukung oleh sejumlah kompetensi yang meliputi kompetensi intelektual, sosial, pribadi, moral-spiritual, fisik, dan lain-lain.
Dari sudut pandang polisi itu sendiri, mereka sangat mengharapkan adanya pengakuan terhadap keberadaan dirinya sebagai pribadi insan penegak hukum dan diberikan peluang untuk mewujudkan “otonomi penegakan hukum” secara profesional. Dalam mewujudkan otonomi penegakan hukum, polisi mengharapkan agar memperoleh kesempatan untuk mewujudkan kinerja pribadi dan profesionalnya melalui pemberdayaan diri secara kreatif. Polisi juga mengharapkan agar memperoleh perlakuan yang wajar dan adil sesuai dengan hak dan martabatnya. Polisi mengharapkan perwujudan hak-haknya sebagai insan penegakan hukum dan yang berupa kesejahteraan pribadi dan profesional yang meliputi:
1. imbal jasa yang wajar dan professional;
2. rasa aman dalam melaksanakan tugasnya;
3. kondisi kerja yang kondusif bagi pelaksanaan tugas dan suasana kehidupannya;
4. hubungan antar pribadi yang baik dan kondusif;
5. kepastian jenjang karir dalam menuju masa depannya.
Beberapa karakteristik citra polisi yang diharapkan dapat membantu mewujudkan kondisi serta kinerja polisi yang ideal, antara lain sebagai berikut:
1. Polisi yang memiliki semangat juang yang tinggi disertai kualitas keimanan dan ketaqwaan yang mantap.
2. Polisi yang mampu mewujudkan dirinya dalam keterkaitan dan pedoman dengan tuntutan lingkungan dan perkembangan iptek.
3. Polisi yang mampu belajar dan bekerjasama dengan profesi lain.
4. Polisi yang memiliki etos kerja yang kuat.
5. Polisi yang memiliki kejelasan dan kepastian pengembangan jenjang karir.
6. Polisi yang berjiwa profesional tinggi.
7. Polisi yang memiliki kesejahteraan lahir dan batin, material dan non material.
8. Polisi yang memiliki wawasan masa depan.
9. Polisi yang mampu melaksanakan fungsi dan peranannya secara terpadu.
Polisi terabaikan dalam perwujudan keberdayaannya sebagai insan penegakan hukum dan Polisi lebih banyak memperoleh perlakuan sebagai objek administratif dan birokratis, sehingga keberdayaannya sebagai insan penegakan hukum dan selalu terpasung dan tidak berkembang, padahal polisi itu memegang peranan yang amat penting dalam upaya pengembangan sumber daya manusia melalui penegakan hukum .
Secara jujur diakui atau tidak pada saat ini polisi lebih banyak dituntut untuk mewujudkan kinerja idealnya, sementara hal-hal yang menjadi hak polisi belum sepenuhnya diterima oleh polisi. Kinerja polisi sangat ditentukan oleh sikap dari masyarakat, yang sampai saat ini masih belum dirasakan oleh polisi. Polisi sangat mengidamkan agar dapat bermitra dengan aparat penegak hukum lainnya dalam posisi sebagai penegak hukum dengan melepaskan berbagai atribut dan simbol-simbol posisi tertentu seperti pangkat, jabatan, kedudukan, materi, dan sebagainya. Misalnya pada waktu mengambil raport anak, polisi sangat mengidamkan dapat berdialog langsung dengan guru dalam suasana kemitraan dan bukan dalam suasana atasan-bawahan atau orang kaya dan miskin, atau pimpinan dan rakyat, dan sebagainya. Dalam dialog ini dibicarakan berbagai aspek penegakan hukum dan anak-anaknya dalam suasana kekeluargaan dan kemitraan.
Hal yang paling menyulitkan para polisi adalah menjaga keseimbangan antara tuntutan untuk berbuat normatif ideal dengan suasana kehidupan masa kini yang ditandai dengan pola-pola kehidupan yang materialistis, individualistis, kompetitif, konsumtif, dan sebagianya. Faktor mendasar yang terkait erat dengan kinerja profesional polisi adalah “kepuasan kerja” yang berkaitan erat dengan “kesejahteraan” para polisi. Kepuasan ini dilatar belakangi oleh faktor-faktor:
1. imbal jasa;
2. rasa aman;
3. hubungan antar pribadi;
4. kondisi lingkungan kerja; dan
5. kesempatan untuk pengembangan dan peningkatan diri.
Nampaknya kelima faktor itu belum dapat terwujud sehingga mampu menunjukkan kinerjanya secara optimal.
Dari aspek imbal jasa baik yang bersifat materi ataupun non-materi, harus diakui masih jauh dari ”memberikan kepuasan” dan “keadilan.” Meskipun, diakui bahwa harkat dan martabat polisi bukan terletak pada aspek materi atau simbol-simbol lahiriah, namun kenyataan masa kini umumnya manusia menilai seseorang dari aspek materi dan penampilan lahiriah. Dari sudut inilah para polisi sudah tentu sangat mengharapkan agar ”imbal jasa” dapat disesuaikan dengan syarat kualitas memadai, wajar, dan adil. Memang disadari bahwa masalah ini merupakan masalah nasional dan pemerintah terus menerus menguahakan untuk meningkatkan kesejahteraan polisi dan sampai batas tertentu sudah banyak dirasakan oleh kaum polisi. Semoga di masa yang kan datang idaman dapat terwujud sehingga polisi dapat mewujudkan kinerjanya dengan penuh kepuasan diri.
Rasa aman sebagai faktor kepuasan masih merupakan idaman para polisi. Kalau menelaah berbagai kasus kejadian yang banyak muncul dewasa ini (dan juga di masa lalu), ada kecenderungan kondisi ini belum terwujud secara penuh. Masih ada kasus pelecehan terhadap polisi seperti uang sering kita saksikan dalam berbagai pemberitaan di media masa. Belum lagi masalah-masalah yang masuk ke dunia penegakan hukum dan dengan berlatar belakang “bisnis” yang dapat menyulitkan posisi polisi sebagai pendidik di depan masyarakatnya. Perlakuan dari pihak pejabat, masyarakat, dan kadang-kadang dirasakan kurang mendukung rasa aman polisi dalam melaksanakan tugasnya. Misalnya adanya pengaduan atau proses terhadap tindakan hukuman yang diberikan oleh polisi.
Potensi polisi selama ini lebih banyak dimanfaatkan oleh berbagai pihak untuk berbagai tujuan dan kepentingan seperti politik, kekuasaan dan arogansi, bisnis, kepentingan pribadi, dan sebagainya.
sumber: Kang Ary WP
DAENG LIRA |