Ada empat fungsi berkurban.
Pertama, tasyakkur. Artinya bersyukur kepada Allah atas
limpahan anugerah dan karunia-Nya kepada kita, baik berupa harta, kesehatan,
maupun panjang umur, sehingga kita bisa tetap melaksanakan perintah Allah dan
menjauhi larangan-Nya. Dalam Al-Qur’an, Allah menjelaskan, “Sungguh kami telah
memberikan nikmat yang banyak kepadamu, maka laksanakanlah shalat untuk Tuhan-Mu
dan berkurbanlah.”
Kedua, tujuan berkurban untuk taqorrub, yakni mendekatkan
diri kepada Allah. Memang masih ada sebagian orang yang berkurban bukan untuk
mendekatkan diri kepada Allah melainkan hanya sekedar pamer, mencari pujian,
dan untuk menunjukkan dirinya masih banyak uang agar disebut dermawan. Niat
yang salah tidak apa-apa yang penting dia mau berkurban. Cepat atau lambat
kesalahan niat tersebut bisa diperbaiki.
Ketiga, dalam berkurban ada unsur ta’awun, yakni tolong
menolong terhadap sesama. Dengan kata lain, berkurban ada unsur sosialnya.
Tolong menolong berarti yang kuat menolong yang lemah dan yang kaya menolong
yang miskin. Firman Allah, “Tolong menolonglah kamu sekalian dalam kebaikan dan
taqwa. Dan janganlah kamu tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.”
Keempat, dalam berkurban tidak boleh dilupakan unsur
ta’abud, yakni ibadah. Tanpa mengikutsertakan unsur yang satu ini, kurban tidak
ada artinya alias tidak diterima di sisi Allah. Dengan demikian, niat dan
tujuan kurban tidak boleh salah. Harus ikhlas dan niat dalam rangka
melaksanakan ibadah sesuai dengan tuntunan Nabi Ibrahim.
Kisah Habi
dan Qabil di kisahkan pada al-Qur'an:
“
|
Ceritakanlah
kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang
sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah
seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil).
Ia berkata (Qabil): "Aku pasti membunuhmu!". Berkata Habil:
"Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang
bertakwa". (Al
Maaidah: 27)
|
Disebutkan
dalam Al Qur'an, Allah memberi perintah melalui mimpi kepada Nabi Ibrahim untuk
mempersembahkan Ismail. Diceritakan dalam Al Qur'an bahwa Ibrahim dan Ismail
mematuhi perintah tersebut dan tepat saat Ismail akan disembelih, Allah
menggantinya dengan domba. Berikut petikan surat Ash Shaaffaat
ayat 102-107 yang menceritakan hal tersebut.
“
|
Maka
tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim,
Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa
aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab:
"Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah
kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar". Tatkala keduanya
telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya),
(nyatalah kesabaran keduanya ), dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah
membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada
orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu
ujian yang nyata, dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan
yang besar. (Ash Shaaffaat: 102-107)
|
Lantunan takbir menjelang Idul Adha selalu bergemuruh dan menggema menembus langit-langit dunia mengiringi perginya senja, tanda hari pelaksanaan salat Idul Adha. Sekaligus mengawal sembelihan hewan kurban yang menjadi hari raya ini. Umat Islam pun tenggelam ke dalam ceruk penghayatan ritus ibadah yang sarat makna.
Meningkatnya kesadaran religius umat Islam yang ditandai dengan menggelembungnya kuantitas hewan kurban tentu merupakan fenomena yang menggembirakan. Namun apakah diiringi dengan peningkatan kualitas moral manusianya?.
Pasalnya, kurban bahkan Idul Adha itu sendiri seringkali hanya dipahami sebatas ibadah ritual keagamaan yang rutin. Artinya, setiap umat Islam yang melaksanakan ibadah kurban dan salat Idul Adha hanya mengharap pahala atau surga. Atau bahkan, mereka risih jika status kaya yang dimilikinya belum lengkap jika ada gunjingan bila ia tak berkurban.
Setiap yang melakukan ibadah kurban yang terbayang selalu besarnya pahala dan nikmatnya masuk surga akibat imbalan dari perbuatan kurban yang pernah dilakukan. Adapun nilai atau makna ritual dari ibadah kurban apalagi makna sosialnya seringkali terlupakan.
Jika kita membaca kisah Nabi Ibrahim a.s. dan Ismail a.s. yang merupakan akar sejarah diturunkan ibadah kurban ini, maka kita akan menemukan makna spritualitas yang sangat tinggi.
Secara spiritual, apa yang diteladankan oleh Nabi Ibrahim a.s. dan Ismail a.s. itu, menunjukkan kepasrahan atau kepatuhan yang total dari hamba kepada Allah dalam menunaikan ibadah.
"Ternyata kepatuhan atau kepasrahan tersebut bukan untuk Tuhan, melainkan untuk manusia itu sendiri. Setiap ibadah memang menuntut adanya totalitas kepasrahan dan kepatuhan. Inilah yang disebut beribadah dengan ikhlas, tanpa pamrih kecuali karena Allah semata," sebut Dosen tetap Fakultas Ilmu Agama Islam UII, Drs Asmuni Mth,M.A, (Dikutip UII.ac.id).
Ini bermakna bahwa kita dalam beribadah tidak boleh terpecah-pecah, atau tidak ikhlas, ingin pamer atau dianggap memiliki tingkat ibadah yang tinggi. Ibadah yang ikhlas dan pasrah adalah jauh dari riya’ (agar dilihat orang ), sum’ah (agar didengar orang lain) sehingga tidak hanya lillah ta’ala melainkan juga billah ta’ala.
Nabi Ibrahim dan Ismail telah membuktikan, agar manusia Muslim jangan sampai terpenjara oleh kecintaan kepada dunia (harta, kedudukan, jiwa raga) secara berlebihan dan membawa dirinya lupa kepada hakikat dan tujuan hidupnya yang sejati yakni memperoleh keridhaan Allah.
"Orang yang tidak memiliki semangat untuk membantu meringankan beban penderitaan orang lain meskipun mereka setiap tahun melaksanakan penyembelihan hewan kurban, belum dapat dikatakan telah melaksanakan ibadah kurban."
"Sebaliknya, meskipun seseorang itu tidak pernah menyembelih hewan kurban tetapi memiliki semangat dan selalu memberi bantuan kepada orang lain yang membutuhkan berarti mereka telah melaksanakan ibadah kurban," bilangnya.
Allah memang selalu menguji kita. Terkadang dia ingin tahu seberapa besar keimanan dan kecintaan kita kepada-Nya, apakah kita masih menomorsatukan dia atas segala apapun yang fana yang kita miliki saat ini?.
Idul Adha selalu mengajarkan kita untuk selalu merelakan segala sesuatu yang kita cintai, atau ketika kita harus merelakan kepergian sesuatu yang sudah sangat kita jaga begitu lama.
Maka tetaplah berbaik sangka, karena sesungguhnya rencana dan ketetapan-Nya maha indah, bahkan lebih dari apa yang kita harapkan. Semakin cepat ikhlas, semakin cepat diganti dengan yang lebih baik.
Ikhlas bukanlah saat kita mengatakan, “aku sudah ikhlas”. Pada dasarnya keikhlasan bukan sesuatu yang diucapkan oleh mulut, melainkan dari hati. Saat kita ikhlas, itu berarti kita tidak akan mengungkitnya lagi ke belakang.
Saat kita ikhlas, itu berarti saat ada yang membicarakannya, kita sudah mampu meresponnya dengan tersenyum. Senyum keyakinan, bahwa Sang Pencipta akan segera mengganti kesedihan kita dengan kebahagiaan yang berkali lipat.
Saat kita ikhlas, maka tidak akan ada rasa sakit yang dapat menyentuh kita. Karena kita sudah ikhlas. Karena kita berbaik sangka pada Allah. Karena kita percaya Allah akan menggantinya. Karena kita percaya Allah memiliki rencana yang lebih baik.
Ketika kita telah benar-benar ikhlas…
KETIKA HATI RELA
DENGAN YANG KITA CINTAI
DAN JUGA RELA
BERKORBAN DENGAN YANG DI CINTAI-NYA (ALLAH)
MAKA BERKURBANLAH
ATAS NAMA-NYA (ALLAH)
Signature by
DAENG LIRA |