Kepolisian Negara Repiblik Indonesia (Polri) adalah masih seringnya dijumpai penyalahgunaan wewenang. Bukan hanya dilakukan oleh bawahan yang memang secara langsung berhadapan dengan warga masyarakat, tetapi justru penyalahgunaan wewenang itu bersumber dari pimpinan di suatu wilayah.
Kita sering membaca di media cetak atau menonton di media elektronik berbagai kriminalitas yang meresahkan masyarakat, terutama di kota-kota besar, tetapi belum mampu diungkap secara tuntas oleh kepolisian. Apakah kualitas pengabdian dan profesionalitas polisi sudah menurun?
Kalau dikatakan polisi mulai goyah integritas dan profesionalitasnya, itu tidak terlepas dari pembinaan yang tidak responsif dan bersinambung oleh pimpinan Polri. Setidaknya perlu ada ukuran dan parameter sejauhmana tingkat keberhasilan Polri dalam melaksanakan tugas. Tidak hanya diukur dari kuantitasnya, karena yang sangat penting adalah kualitas dari rangkaian tugas itu betul-betul dirasakan masyarakat.
Setidaknya ada indikasi ke arah itu, sebab selama ini Polri selalu disorot berkaitan dengan rekrutmen, mutasi, dan penentuan jabatan bagi anggota Polri yang tidak transparan. Kondisi demikian membuka peluang terjadinya penyelewengan wewenang yang hampir tidak pernah disebabkan dari bawah. Penyimpangan anggota Polri tidak selalu disebabkan oleh watak individu bawahan, tetapi mencontoh pada perilaku pimpinan, atau terpaksa mengikuti keinginan atasan melalui pemberikan upeti.
Pimpinan yang Bermitra
Ada ungkapan yang cukup menarik sering terlontar dalam obrolan di warung kopi, bahwa saat ini amat susah mencari “polisi jujur”. Kalau pun ada, pastilah itu polisi tidur atau patung polisi. Tetapi bagi anggota Polri yang selalu jujur dan mengabdi sepenuhnya dan jumlahnya jauh lebih banyak, tudingan itu jelas menyakitkan. Hanya saja terpaksa diterima lantaran hampir setiap hari publik merasakan dan menyaksikan ada oknum polisi yang tidak jujur dengan melakukan pungutan liar atau menyakiti hati rakyat.
Perilaku tidak jujur juga kadang terjadi saat menangani perkara kejahatan yang kadang membuat masyarakat tidak percaya pada polisi. Akibatnya, wibawa Polri terus tergerus di tengah upaya membangun citra lantaran ulah segelintir oknum anggota di lapangan, bahkan juga oknum pimpinan yang cenderung tidak bersahabat dengan stakeholder masyarakat.
Sangat susah membangun hubungan baik dengan institusi kepolisian jika ada oknum pimpinannya yang tidak memiliki kemampuan untuk membangun kemitraan dengan berbagai komponen masyarakat. Itulah yang disebut sebagai upaya mendekatkan polisi dengan masyarakat yang akan dilayanai dan ditertibkan.
Harapan publik agar institusi penegak hukum berbaju cokelat itu bisa diterima oleh masyarakat, setidaknya harus berwibawa karena dalam melaksanakan tugas selalu mengayomi, bersikap jujur, dan bebas dari praktik korupsi. Harapan ini bukan tanpa tanpa garansi. Sebab begitu banyak uang negara yang dipakai mendidik mental dan menggaji anggota Polri.
Tetapi untuk menumbuhkan perilaku jujur dan berwibawa bagi anggota polisi, harus dimulai dari pimpinan yang bisa dijadikan contoh bagi bawahan. Jangan lagi ada pimpinan yang selalau doyan menerima upeti dari bawahan, membiarkan atau bahkan mengarahkan untuk membengkokkan kasus yang sedang ditangani.
Permintaan setoran bagi bawahan agar lulus pendidikan atau meraih jabatan tertentu, selalu dilakukan di ruang gelap. Hanya dengan operasi khusus yang bisa membongkarnya. Hal ini sangat memengaruhi psikologis bawahan yang setiap hari bersentuhan dengan masyarakat. Mereka akan terbebani oleh kondisi internal di kantor yang kurang memberi ruang untuk berperilaku jujur.
Reformasi Total
Rakyat begitu merindukan sosok polisi yang bisa dibanggakan karena jujur, bersih, profesional, dan berwibawa. Jika suatui kasus yang meresahkan masyarakat berhasil dibongkar polisi, dipastikan akan mendapat sambutan dan respek luar biasa dari masyarakat. Apalagi warga masyarakat begitu mudah merasakan kekuasaan besar polisi yang hampir-hampir susah dilawan.
Hampir semua tindakan polisi selalu didasarkan pada aturan hukum yang menyertainya. Tetapi kekuasaan yang besar dan kadang diselewengkan dalam melakukan penegakan hukum sudah pasti tidak sejalan dengan harapan masyarakat. Apalagi tindakan itu selalu dibalut dengan penertiban dan penegakan hukum yang membuat masyarakat gerah lantaran tidak proporsional.
Untuk memperbaiki polisi agar lebih dekat dengan masyarakat, kiranya reformasi tahap kedua Polri sampai tahun 2014 dengan sasaran “membangun kerja sama yang erat (partnership building) dengan berbagai komponen masyarakat”, harus terus digelorakan. Sebab sampai saat ini belum menuai hasil, terutama karena ada pimpinan Polri yang kurang mampu menggalang keterlibatan luas stakeholder masyarakat.
Polri harus sadar bahwa tugas menjaga kamtibmas dan penegakan hukum tidak akan berhasil dengan baik tanpa dukungan masyarakat. Maka itu, reformasi Polri perlu didesain secara totalitas dengan sasaran membersihkan institusi Polri dari perilaku korup yang memanfaatkan suatu kasus sebagai sumber uang.
Jangan sampai rakyat selalu merasa tidak nyaman jika bersentuhan dengan polisi karena takut dicari-cari kesalahannya atau dimintai uang, sehingga menjadi saksi sekalipun tidak bersedia. Memperingati hari Bhayangkara tahun ini, Polri harus lebih gesit menata diri, harus berani berkata “tidak” pada upaya suap dan setoran yang tidak halal.
Jika terjebak pada perilaku korup seperti menerima suap, maka tidak akan mampu melepaskan diri dari belengggu kejahatan. Sebab korupsi (suap) adalah sumber dari segala kejahatan yang menodai integritas dan kredibilitas institusi. Publik selalu terobsesi pada sosok pimpinan polisi yang jujur, bersih, dan berwibawa seperti Hoegeng Imam Santoso yang menjadi kepala Polri pada 1968-1971.(*)
Oleh;
Marwan Mas
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45
Signature by
DAENG LIRA |