Minggu, 21 Juli 2013

PENGGUNAAN SENJATA API BAGI APARAT POLISI

Polisi merupakan suatu profesi yang khas dan unik. Disatu sisi profesi ini tidak dapat dikatakan sebagai profesi meliter, tetapi tidak juga sebagai profesi sipil. Walaupun sering kita dengar istilah polisi sipil namun yang dimaksud tersebut adalah bukan sebagai profesi sipil namun polisi yang memiliki jiwa yang melindungi hak-hak warga sipil. Untuk melindungi hak-hak warga sipil tersebut polisi diberikan kewenangan menggunakan senjata api seperti halnya profesi meliter.

Senjata api merupakan salah satu jenis peralatan standar kepolisian yang dapat digunakan oleh petugas Polri untuk melaksanakan tugasnya guna melakukan upaya paksa melalui tindakan melumpuhan, menghentikan, menghambat tindakan seseorang atau sekelompok orang. Senjata api diperlukan oleh anggota Polri dalam pelaksanaan tugas khususnya anggota yang mengemban fungsi penegakan hukum dalam rangka upaya paksa. Namun dalam penggunaan senjata api yang dilakukan oleh anggota Polri masih banyak penyalahgunaan yang dilakukan. Penyalahgunaan penggunaan senjata api ini ada yang dilakukan dalam rangka melaksanakan tugas dan ada yang dilakukan diluar konteks pelaksanaan tugas.

Beberapa fakta tentang penyalahgunaan senjata api yang dilakukan oleh anggota yang mencuat ke media dan menjadi sorotan masyarakat antara lain kejadian yang paling menghebohkan dimana seorang anggota provost di Polrestabes Semarang Briptu Hance Chrystiato menembak Wakapolwil Polrestabes Semarang AKBP Drs. Lilik Purwanto sampai meninggal dunia karena permasalahan mutasi. Kemudian tentu kita masih ingat kejadian seorang perwira yang sedang menempuh pendidikan di PTIK yang menembak mantan anggotanya di Papua karena masalah pribadi. Di Sidoarjo, seorang anggota reskrim Polres Sidoarjo menembak mati guru mengaji hanya karena permasalahan sepele dimana anggota tersebut dalam keadaan mabuk dan diindikasikan ada rekayasa oleh anggota yang mengakibatkan pemberitaan cukup negative di Jawa Timur. Kasus terbaru yang paling menghebohkan dalam penyalahgunaan senjata api oleh Polri dalam rangka pelaksanaan tugas adalah pada kasus bentrokan warga dengan perusahaan akibat sengketa lahan di Mesuji dan pembubaran aksi unjuk rasa masalah perijinan tambang di Sape Bima yang mengakibatkan timbulnya korban jiwa dipihak masyarakat.

Kedua kasus tersebut sangat merugikan bagi Polri, terlepas dari adanya yang memanfaat situasi pada kasus tersebut. Opini public yang berkembang sedemikian rupa akibat brutalisme dan arogansi yang dilakukan oleh anggota Polri kepada masyarakat dalam pelaksanaan tugasnya diera saat ini sangat berdampak negative bagi Polri dalam upaya membangun kepercayaan dari masyarakat. Hujatan, cacian, makian terlontar dari berbagai pihak dalam menanggapi permasalahan ini. Label sebagai Polisi pelanggar Hak Asasi Manusia, Polisi brutal, arogan dan alat kekuasaan semakin melekat pada institusi Polri.
Bahkan sempat berkembang wacara reposisi Polri yang berada di bawah tanggungjawab Presiden. Hal ini semakin menjauhkan polisi dengan masyarakat. Wibawa polisi sebagai aparat keamanan runtuh yang menyebabkan masyarakat akan semakin berani melanggar hukum sebagai bentuk perlawanan kepada polisi. Perlawanan ini ditunjukan baik secara langsung (fisik) maupun tidak langsung. Disini pertaruhan polisi sebagai penjaga peradaban benar-benar diuji, apakah polisi akan menciptakan masyarakat yang beradap atau menciptakan masyarakat yang biadap. Memang permasalahan-permasalahan penyalahgunaan senjata api oleh anggota Polri masih banyak terjadinya. Penggunaan senjata api seperti halnya makan buah simalakama bagi anggota Polri. Dimakan ayah meninggal, tidak dimakan ibu meninggal. Seperti halnya senjata api oleh anggota Polri, digunakan salah, tidak digunakan juga salah. Digunakan diperiksa provost, tidak digunakan juga diperiksa provost. Senjata api dibagikan kepada anggota banyak menimbulkan masalah seperti beberapa contoh kasus diatas, tidak dibagikan kepada anggota juga salah karena anggota banyak yang meninggal sia-sia seperti yang terjadi pada saat pengamanan unjuk rasa di Universitas Cendrawasih Jayapura dan menjadi korban kejahatan dilapangan.

Selain itu anggota Polri juga sesuai fungsi, peran dan tugasnya tidak dapat membela dan melindungi masyarakat dari kejahatan yang mengancam. Penyalahgunaan senjata api oleh anggota Polri ada yang disebabkan oleh factor internal pribadi dari anggota itu sendiri maupun disebabkan dari factor ekternal anggota tersebut. Dari factor internal pribadi sangat ditentukan oleh pengetahuan, pengalaman dan factor psikologis dari anggota yang bersangkutan. Sedangkan dari factor eksternal anggota, biasanya disebabkan oleh factor pengawasan dan kebijakan pimpinan, serta situsi dan kondisi yang dihadapi oleh anggota.

Seperti halnya pengalaman saya dalam berdinas selama 20 tahun di Polri sangat dirasakan pengaruh senjata api terhadap prilaku dan psikologis bagi pemegang senjata api. Penulis sendiri merasakan dimana pada awal masa dinas saat pertama kali memegang senjata api, kepercaya diri meningkat bahkan sampai pada tahap over convidence. Dari perasaan over convidence ini timbul sikap-sikap arogansi, dimana di saat-saat yang tidak tepat dan tidak mengharuskan penggunaan senjata api, senjata digunakan untuk menunjukan kekuatan dan kekuasaan serta kewenangan. Dalam istilah premannya, polisi yang baru pertama kali memegang senjata api ini di sebut preman senggol bacok, dimana kalau ada yang menyenggol langsung dibacok. Hal ini secara alami terjadi karena kurangnya pengalaman maupun pengetahuan yang dimiliki karena memang selama pendidikan hanya diajarkan cara menembak tepat dan benar, tanpa diajarkan secara mendalam kapan dan situasi apa senjata boleh digunakan. Tentu ini dirasakan oleh sebagian besar anggota Polri pada awal memegang senjata api. Bisa dibayangkan lulusan Akademi Kepolisian yang mengalami pendidikan selama 3,5 tahun saja merasakan hal tersebut bagaimana anggota bintara yang hanya mengalami pendidikan 6 bulan. Tentu sikap arogansi dan over convidence yang muncul akan semakin tinggi karena pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya. Senjata api seakan memiliki roh yang dapat meningkatkan rasa percaya diri yang berlebihan dari setiap individu yang memegangnya. Kemudian berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang semakin meningkat, polisi dihadapi dengan permasalahan yang berbeda dalam hal penggunaan senjata api.
Ini pernah terjadi di sebuah Polres di Polda Jawa Timur, dimana pada saat itu baru terjadi penembakan anggota kepada Wakapolwil Polrestabes Semarang yang menyebabkan ada kebijakan secara terpusat untuk mengetatkan pemberian senjata api kepada anggota. Hal ini diterjemahkan oleh pimpinan di wilayah termasuk di Polda Jawa Timur untuk menggudangkan senjata api yang dipegang oleh anggota. Namun hal ini berakibat fatal dimana salah satu anggota lalu lintas di Polres tempat penulis berdinas, pada saat melakukan pengamanan pengalihan arus lalu lintas, ditusuk oleh segerombolan pemuda tanpa sebab yang jelas sehingga anggota lalu lintas tersebut meninggal dunia di rumah sakit.

Berdasarkan kejadian tersebut secara drastis kebijakan menggudangkan senjata api dirubah. Senjata dibagikan kembali kepada anggota baik yang memenuhi persyaratan formal maupun tidak. Disini terlihat adanya ketidak konsistenan kebijakan yang diambil oleh pimpinan baik pusat maupun wilayah. Kebijakan diambil dengan menggeneralisasi satu kejadian tanpa dilakukan suatu kajian yang mendalam terhadap keluarnya suatu kebijakan. Kebiasaan mengambil kebijakan yang sifatnya instan dan menggeneralisasi suatu kebijakan di Kepolisian sangat membahayakan bagi pelaksanaan tugas yang dilakukan oleh anggota dilapangan yang kesehariannya bergulat dengan masyarakat dengan segala permasalahannya. Apalagi setelah mengambil suatu kebijakan dalam menggudangkan senjata langsung di ekspos ke media, mungkin dengan maksud ingin menunjukan kepada masyarakat bahwa Polri responsive terhadap permasalahan yang terjadi, namun disisi lain sangat membahayakan dimana pelaku kejahatan akan mengetahui sisi lemah dari aparat kepolisian yang sedang tidak memegang senjata. Pengunaan senjata api sangat dipengaruhi oleh factor internal pemegang senjata api. Tentunya penilaian penggunaan senjata api ini sangat tergantung kepada penilaian anggota terhadap situasi yang dihadapinya. Namun harus disadari bahwa dalam Perkap nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Peyelenggaraan Tugas Polri telah ditentukan bahwa senjata api hanya boleh digunakan pada saat : dalam menghadapi keadaan luar biasa; membela diri dari ancaman kematian atau luka berat; membela orang lain terhadap ancaman kematian atau luka berat; mencegah terjadinya kejahatan berat atau yang mengancam jiwa orang; menahan, mencegah atau menghentikan seseorang yang sedang atau akan melakukan tindakan yang sangat membahayakan jiwa dan menangani situasi yang membahayakan jiwa dimana langkah-langkah yang lebih lunak tidak cukup. Apabila menghadapi unjuk rasa ataupun rusuh massa, penggunaan senjata api juga diatur dalam Perkap nomor 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian terdapat prinsip-prinsip penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian meliputi:

a. legalitas, yang berarti bahwa semua tindakan kepolisian harus sesuai dengan hukum yang berlaku;
b. nesesitas, yang berarti bahwa penggunaan kekuatan dapat dilakukan bila memang diperlukan dan tidak dapat dihindarkan berdasarkan situasi yang dihadapi;
c. proporsionalitas, yang berarti bahwa penggunaan kekuatan harus dilaksanakan secara seimbang antara ancaman yang dihadapi dan tingkat kekuatan atau respon anggota Polri, sehingga tidak menimbulkan kerugian/korban/penderitaan yang berlebihan;
d. kewajiban umum, yang berarti bahwa anggota Polri diberi kewenangan untuk bertindak atai tidak bertindak menurut penilaian sendiri, untuk menjaga, memelihara ketertiban dan menjamin keselamatan umum;
e. preventif, yang berarti bahwa tindakan kepolisian mengutamakan pencegahan;
f. masuk akal (reasonable), yang berarti bahwa tindakan kepolisian diambil dengan mempertimbangkan secara logis situasi dan kondisi dari ancaman atau perlawanan pelaku kejahatan terhadap petugas atau bahanya terhadap masyarakat.

Dalam Perkap ini juga telah diatur tahap-tahapan dalam penggunaan kekuatan yang boleh dilakukan oleh Polri. Dalam situasi tertentu (tahap 6. kendali dengan menggunakan senjata api atau alat lain yang menghentikan tindakan atau perilaku pelaku kejahatan atau tersangka yang dapat menyebabkan luka parah atau kematian anggota Polri atau anggota masyarakat) Polisi harus menggunakan kewenangannya untuk penggunaan senjata api. Seperti halnya Polri dalam menghadapi kasus bentrokan warga dengan perusahaan akibat sengketa lahan di Mesuji dan pembubaran aksi unjuk rasa masalah perijinan tambang di Sape Bima yang mengakibatkan timbulnya korban jiwa dipihak masyarakat harus juga dipandang secara komprehensif mengenai pihak-pihak yang bertanggung jawab mengenai kejadian tersebut. Jangan sampai juga terkesan pimpinan hanya menyalahkan anggota pelaksana dilapangan terhadap kejadian terebut.

Bagaimana system pengawasan terhadap anggota dalam menterjemahkan perintah pimpinan dalam menghadapi situsi rusuh massa. Perlu disadari pengunaan senjata api yang dilakukan oleh angota dilapangan dalam menangani unjuk rasa ataupun kerusuhan massa bisa disebabkan dari factor pemicu apakah masyarakat ataupun lainnya. Seperti yang dikatakan oleh Satjipto Rahardjo bahwa penggunaan kekerasan oleh polisi bukan merupakan suatu tindakan yang murni digerakan oleh keinginannya untuk melakukan hal itu. Tampaknya cukup banyak faktor yang turut menyebabkannya, bahkan bisa dikatakan juga yang memancingnya untuk berbuat demikian. Dengan demikian perbuatan petugas polisi itu kiranya dapat digolongkan kedalam tindakan yang benar-benar bersifat relasional dimana apa yang dilakukan oleh seseorang juga merupakan reaksi terhadap perbuatan yang dilakukan oleh orang lain.

Factor lain yang menyebabkan penyalahgunaan senjata api yang dilakukan oleh angota Polri adalah masalah kebijakan dari pimpinan. Adanya suatu kebijakan yang diambil oleh pimpinan dan anggota dilapangan yang didasarkan oleh keyakinan terhadap mithos-mithos turun-temurun (old myth) yang salah satunya meyakini bahwa para pelaku kejahatan jalanan khususnya pelaku curas, curat dan curanmor harus di tembak dikaki bahkan sampai dengan kebijakan yang menggunakan sandi 8.10 yang artinya menembak tersangka sampai meninggal dunia. Inipun masih menjadi perdebatan tersendiri dikalangan Polri secara internal maupun masyarakat.

Namun khususnya bagi pembela Hak asasi Manusia sudah dengan jelas-jelas menentang terhadap ‘kebijakan internal’ non formal dari pimpinan dan anggota Polri yang membidangi penegakan hukum dilapangan. Ini perlu mendapat perhatian khususnya internal Polri apakah tindakan ini masih relevan atau tidak di zaman sekarang. Apakah ada efek terhadap upaya menciptakan efek deterent atau efek jera dikalangan pelaku kejahatan jalanan atau tidak dengan tindakan ini Berdasarkan pemetan penulis terhadap penyebab penyalahgunaan penggunaan senjata api oleh anggota yaitu secara internal anggota berupa tingkat pengetahuan terhadap aturan-aturan, norma dan etika, pengalaman kerja dan interaksi dengan lingkungan serta faktor psikologi dari anggota. Kemudian secara eksternal yaitu pengawasan baik internal maupun eksternal, kebijakan pimpinan serta situasi dan kondisi yang dihadapi oleh anggota dalam penilaiannya untuk mempergunakan senjata api dalam menghadapi situasi dan kondisi tersebut. Untuk itu untuk mencegah dan menghindari penyalahgunaan penggunaan senjata api yang dilakukan oleh anggota perlu dilakukan strategi dan upaya yang bersifat pencegahan dimasa depan. Apabila langkah yang diambil hanya tindakan menghukum anggota yang salah saja tentu hal ini sangat berfikiran sempit dan pendek.

Peraturan yang mengatur mengenai penggunaan senjata api oleh polisi antara lain diatur dalam Perkapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Perkapolri 8/2009”), serta di dalam Perkapolri No. 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian (“Perkapolri 1/2009”).

Berdasarkan Pasal 47 Perkapolri 8/2009 disebutkan bahwa:

(1) Penggunaan senjata api hanya boleh digunakan bila benar-benar diperuntukkan untuk melindungi nyawa manusia.

(2) Senjata api bagi petugas hanya boleh digunakan untuk:

a. dalam hal menghadapi keadaan luar biasa;

b. membela diri dari ancaman kematian dan/atau luka berat;

c. membela orang lain terhadap ancaman kematian dan/atau luka berat;

d. mencegah terjadinya kejahatan berat atau yang mengancam jiwa orang;

e. menahan, mencegah atau menghentikan seseorang yang sedang atau akan melakukan tindakan yang sangat membahayakan jiwa; dan

f. menangani situasi yang membahayakan jiwa, dimana langkah-langkah yang lebih lunak tidak cukup.

Penggunaan senjata api oleh polisi dilakukan apabila (Pasal 8 ayat [1] Perkapolri 1/2009):

a. tindakan pelaku kejahatan atau tersangka dapat secara segera menimbulkan luka parah atau kematian bagi anggota Polri atau masyarakat;
b. anggota Polri tidak memiliki alternatif lain yang beralasan dan masuk akal untuk menghentikan tindakan/perbuatan pelaku kejahatan atau tersangka tersebut;
c. anggota Polri sedang mencegah larinya pelaku kejahatan atau tersangka yang merupakan ancaman segera terhadap jiwa anggota Polri atau masyarakat.

Pada prinsipnya, penggunaan senjata api merupakan upaya terakhir untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan atau tersangka (Pasal 8 ayat [2] Perkapolri 1/2009).

Sebelum melepaskan tembakan, polisi juga harus memberikan tembakan peringatan ke udara atau ke tanah dengan kehati-hatian tinggi dengan tujuan untuk menurunkan moril pelaku serta memberi peringatan sebelum tembakan diarahkan kepada pelaku (Pasal 15 Perkapolri 1/2009).

Pada prinsipnya, setiap individu anggota Polri wajib bertanggung jawab atas pelaksanaan penggunaan kekuatan (senjata api) dalam tindakan kepolisian yang dilakukannya (Pasal 13 ayat [1] Perkapolri 1/2009). Oleh karena pertanggungjawaban secara individu terhadap penggunaan senjata api oleh polisi, maka penggunaan senjata api yang telah merugikan pihak lain karena tidak mengikuti prosedur dapat dituntut pertanggungjawabannnya secara perdata maupun secara pidana. Langkah yang dapat diambil antara lain : seleksi personel, dimana seleksi personel Polri ini seharusnya berfokus pada sifat kepribadian seperti intelejensia, kemanusian, kejujuran, kestabilan emosional dan kehandalan. Harus dicari personel yang mampu melaksanakan tugas yang diperlukan dan menerapkan penilaian etis dalam setiap kinerjanya. Kemudian pelatihan dimana sebelum penugasan dan selama penugasan harus ditingkatkan dalam pemahaman-pemahaman tenang aturan-aturan, hukum dan ketentuan yang ada, hak-hak sipil, psikologi social dan tanggung jawab pelayanan kepolisian.
Dimana anggota polri harus ditekankan pada pelatihan yang mencerminkan tugas actual mereka sebagai pemelihara keteraturan dan ketertiban masyarakat daripada tanggung jawabnya sebagai penumpas kejahatan. Langkah selanjutnya adalah evaluasi kinerja, dimana evaluasi dalam penggunaan senjata api dalam pelaksanaan tugas harus tetap dilakukan oleh pimpinan dan anggota untuk dapat melihat kekurangan dan kelebihan terhadap tindakan-tindakan yang telah dilakukan.
Informasi public merupakan langkah yang penting untuk dilaksanakan sehingga masyarakat terbuka akan informasi tentang dinamika yang sesungguhnya tentang opini publik yang berkembang tentang penyalahgunaan wewenang khusunya penyalahgunaan senjata api yang dilakukan oleh anggota melalui metode yang sistematis. Selain itu kebijakan, prosedur dan pengawasan organisasinal adalah hal yang wajib untuk dilakukan secara efektif sehingga terdapat keyakinan dan kejelasan bagi anggota dilapangan dalam bertindak serta memiliki dasar hukum yang kuat untuk mengambil suatu keputusan berdasarkan penilaiannya sendiri dilapangan apakah penggunaan senjata api sudah perlu atau belum untuk digunakan. Semoga dengan beberapa langkah pencegahan yang berorientasi masa depan ini tidak menjadikan beban anggota polri seperti memakan buah simalakama bagi pemegang senjata api.



DAFTAR BACAAN

Barker Thomas and Carter David, 1999, Penyimpangan Polisi (terjemahan Police Deviance), Jakarta, Cipta Manunggal.
Soekanto Soerjono, 2004, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada.
Rahardjo Sadjipto, 1993, Polisi Pelaku dan Pemikir, Jakarta, PT Gramedia
Chryshnanda, 2009, Menjadi Polis Yang Berhati Nurani, Jakarta, Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian.
Suryabrata Sumadi, 1982, Psikologi Pribadi, Jakarta, PT Grafindo Persada
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Peyelenggaraan Tugas Polri
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian


Sumber: Srigunting Blog