Selasa, 08 Oktober 2013

AKIL MOHTAR DAN UCAPAN2NYA


Tanggal 14 Agustus 2013, ketika Ketua SKK Migas Rudi Rubiandini ditangkap KPK, semua orang sangat kaget, semua orang juga sepakat inilah penangkapan terbesar dalam sejarah KPK. Namun, belum genap dua bulan kemudian, Rabu, 2 Oktober 2013, sekitar pukul 21:45 WIB, semua orang dibuat sangat, sangat, kaget luar biasa, ketika “rekor” itu dipecahkan oleh Akil Mochtar, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Akil Mochtar, yang baru saja dilantik sebagai Ketua MK pada 3 April 2013 itu  ditangkap KPK di rumah dinasnya karena diduga telah menerima uang suap dalam bentuk dollar Singapura, yang jika dirupiahkan bernilai sekitar Rp 3 miliar. Bersama dia, KPK juga menangkap anggota Fraksi Partai Golkar Chairun Nisa dan Panitera Pengganti berinisial DH. Sedangkan Bupati Gunung Emas Hambit Bintih dan seorang pengusaha berinisial CN ditangkap KPK di sebuah hotel.
Kasus ini diduga berkaitan dengan sengketa hasil Pilkada di Kabupaten Gunung Emas, Kalimatan Tengah yang sedang disidangkan oleh MK dengan Ketua Majelis Hakimnya adalah Akil Mochtar ini.

Ketika Rudi Rubiandini ditangkap KPK, Akil Mochtar langsung mempublikasikan komentarnya via akun Twitter-nya @akilmochtar, dengan kalimat: “Quovadis SKK Migas? Menyedihkan…Sekaligus mempermalukan bangsa.”

Kalau Kepala SKK Migas Rudi Rubianto yang jabatannya tak ada kaitannya dengan penegakan hukum saja dibilang Akil Mochtar menyedihkan dan mempermalukan bangsa, bagaimana dengan Akil Mochtar sendiri yang Ketua Mahkamah Konstitusi ini? Mahkamah Konstitusi adalah benteng terakhir penegakan hukum menyangkut perkara-perkara sengketa tentang hasil pemilu, sengketa kewenangan lembaga negara, menguji peraturan perundang-undangan terhadap UUD 1945, dan pembubaran partai politik.  Jelas peristiwa ini sangat jauh lebih menyedihkan sekaligus sangat jauh lebih memalukan bangsa! Istilah yang lebih pas adalah “kiamat kecil” bagi dunia hukum Indonesia (seperti yang dikatakan ICW).

Status Akil Mochtar kini telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan oleh KPK. Ternyata, bukan hanya menyangkut sengketa hasil Pilkada Kabupaten Gunung Mas yang membuatnya dijadikan tersangka dan ditahan KPK, tetapi juga menyangkut sengketa hasil Pilkada Kabupaten Lebak, Banten.

“Hakim Setengah Iblis”
Inilah yang sesungguhnya merupakan penangkapan terbesar yang pernah dilakukan KPK sejak lembaga antirasuah itu dilahirkan pada 2002, dan sekaligus paling memalukan dalam sejarah hukum Indonesia. Sulit membayangkan peristiwa itu justru terjadi di semua lembaga negara semulia Mahkamah Konstitusi. Lebih-lebih lagi justru melibatkan Ketua-nya sendiri! Namun itulah yang kini terjadi.
Akibat peristiwa ini hukum di Indonesia akan semakin terdegradasi di mata publik. Bayangkan saja, sebuah lembaga pengadilan yang selama ini begitu dipercaya setelah KPK, ternyata sedemikian penuh dengan kemunafikan dan kebobrokannya. Tak berlebihan jika kita juga mencurigai delapan hakim konstitusi lainnya, apakah memang mereka bersih, ataukah tak beda dengan Akil? Kita juga patut mempertanyakan kualitas dan akuntabiliras dari sistem uji kepatutan dan kelayakan terhadap Akil Mochtar yang dilakukan oleh Komisi III DPR itu.
Demikian juga dengan kader-kader partai politik yang melekat pada sosok para hakim konstitusi itu. Halmana sudah serng dipermasalahkan sebagian orang, tetapi tak digubris. Sulit rasanya untuk tidak mengalami konflik kepentingan ketika menyidangkan suatu perkara, seperti sengketa Pilkada yang melibatkan para pihak yang berasal juga dari parpol atau didukung parpol tertentu? Ingat juga bagaimana kontroversialnya pengangkatan Patrailis Akbar sebagai anggota hakim konstitusi oleh Presiden SBY pada 12 Agustus 2012?
Hakim-hakim konstitusi dari partai politik menimbulkan banyak kekhawatiran akan merusak MK.Oleh karena itu desakan agar Komisi Yudisial (KY) dikembalikan kewenangannya untuk mengawasi hakim-hakim konstitusi diajukan,  tetapi ditolak MK. Ini saja sudah menimbulkan suatu kejanggalan tersendiri. Kalau benar-benar yakin bersih, kenapa takut kalau ada yang mau mengawasinya?
Seharusnya ketentuan undang-undangnya direvisi, dengan melarang kader parpol/politisi menjadi hakim konstitusi.
Pada Agustus 2006 MK menghapus kewenangan Komisi Yudisial (KY) untuk mengawasai hakim MK. Pada Agustus 2013 permintaan agar KY berwenang kembali mengawasi hakim MK ditolak mentah-mentah. Akil Mochtar sebagai Ketua MK mengatakan, tidak ada alasan untuk mengawasi hakim MK, mengingat kinerja MK sangat bagus dan dipercaya masyarakat. Seolah-olah hakim-hakim konstitusi itu adalah hakim-hakim “setengah dewa”, terutama Ketuanya, yang ternyata “setengah iblis.”

Akil Mochtar Memang Bukan Mahfud MD
Ketika diwawancarai viva.co.id pada 21 April lalu, Akil Mochtar menolak kalau dia akan berada di bawah bayang-bayang Mahfud MD, Ketua MK sebelumnya yang berkharismatik. Akil menepis anggapan itu, katanya,  “Saya dibilang dibawah bayang-bayang Mahfud. Tidak juga, saya punya karakter yang berbeda dengan beliau.”
Perbedaan karakter itu kini terbuktikan. Jika Mahfud MD sampai akhir masa jabatannya bersih dari kasus korupsi, sebaliknya dengan Akil Mochtar, dia ternyata sosok yang sangat kontradiksi sekaligus sangat memalukan, dia adalah Ketua Mahkamah Konstitusi berkarakter koruptor! Perusak citra MK sekaligus penista hukum.

Akil Mochtar Memang Orangnya Tidak Baik, Makanya …
Sebenarnya, sebelum dipilih sebagai Ketua MK, sempat mencuat beberapa kabar yang meragukan integritas Akil Mochtar sebagai Ketua MK.  Namun, di laman pribadinya, seperti yang dikutip Tempo.co, ketika itu, Akil meresponnya dengan menulis,  banyaknya tudingan negatif dengan posisinya di MK itu karena “Mungkin karena orang melihat saya mantan politisi, mantan anggota DPR yang flamboyan. Tapi, jika saya orangnya tidak baik, pastinya saya tidak akan berada di Jl Medan Merdeka Barat (Gedung MK) ini. Saya akan berada di Kuningan, di tahanan KPK,” ujarnya.
Sekarang, Akil Mochtar termakan ucapannya sendiri. Dia membuktikan dirinya sendiri, ternyata orang yang sangat tidak baik, maka itu kini dia berada di Kuningan, di tahanan KPK.

Ternyata, Akil Mochtar yang Masuk Penjara
Pada Desember 2010, Akil Mochtar pernah dilaporkan ke Ketua MK Mahfud MD, dengan tuduhan telah menerima suap dari Jopinus Ramli Saragih (kini Bupati Simalungun) ketika menyidangkan kasus sengketa Pilkada Kabupaten Simalungun, April 2010. Ketika itu ketua majelis hakim konstitusinya adalah Akil Mochtar, dan kasus itu dimenangkan oleh Jopinus.
Laporan itu disampaikan oleh pengacara Jopinus sendiri, Refly Harun. Dalam testimoninya ketika itu (Desember 2012) Refly Harun mengatakan, Jopinus yang telah menjadi Bupati Simalungun itu pernah memintanya untuk menurunkan biaya pengacaranya menjadi Rp 2 miliar saja. Karena duit sebesar Rp 1 miliar akan diberikan si bupati kepada Akil Mochtar.
Namun, karena kurang bukti, akhirnya kasus ini menguap begitu saja. Bahkan ketika itu Akil Mochtar pun melapor balik  Refly Harun kepada KPK, dengan tuduhan telah melakukan percobaan pemerasan.
Ketika itu Akil dengan nada emosi mengatakan, “Saya atau dia yang masuk penjara!”
Ternyata, yang masuk penjara bukan Refly Harun, tetapi Akil Mochtar.

“Orang Bodoh,” “Orang Pintar,” dan “Orang Beruntung”
Ketika diminta komentarnya tentang adanya pihak-pihak tertentu yang meragukan kepatutannya menjadi Ketua MK (April 2013), Akil Mochtar mengatakan, “Kalau saya tidak bisa menjaga netralitas atau saya dianggap orang yang tidak bisa menjaga diri, tidak mungkin saya dipilih menjadi Ketua MK oleh delapan hakim. Mereka itu orangnya pintar-pintar, objektif, rasional, dan semua guru besar. Kalau saya tidak netral kenapa mereka pilih saya.”
Orang pintar, obyektif, rasional, dan guru besar sekalipun, tidak menjamin kalau dia itu bersih, jujur, kebal suap, dan bukan koruptor. Bukti tak terbantahkan adalah Akil Mochtar itu sendiri. Dia adalah S3 Doktor Ilmu Hukum dari Universitas Pajajaran, Bandung.
Orang-orang pintar, guru besar, dan lain-lain sejenisnya itu bisa saja terperdayai ketika memilih seorang Ketuanya yang ternyata lebih pintar dan lebih licik daripada mereka, atau bisa jadi karena yang terjadi adalah pemilihan ketua di antara “sesama teman sealiran.”
Seperti pameo yang berbunyi: Orang bodoh dikalahkan orang pintar, orang pintar dikalahkan oleh orang licik, dan orang licik dikalahkan oleh orang yang beruntung. Dalam konteks ini “orang bodoh” adalah delapan hakim konstitusi yang memilih Akil Mochtar sebagai Ketua MK, dan publik yang selama ini mengira Akil Mochtar itu adalah seorang yang memang layak menjadi Ketua MK, “orang pintar” itu adalah Akil Mochtar. Sedangkan “orang beruntung” adalah KPK yang sukses menangkap basah Akil Mochtar yang diduga telah menerima uang suap itu.

Politisi Bobrok
Akil Mochtar pernah mengatakan: “Hakim MK itu dipilih oleh tiga lembaga (3 dari DPR, 3 dari Mahkamah Agung, 3 oleh Presiden). Lembaganya saja sudah lembaga politik, pasti ada proses politik disana. Lalu apa salahnya orang politik? Memang semua orang politik masuk neraka? Banyak politisi yang baik. Stigma itu ada karena politisi sekarang itu banyak yang bobrok, jadi image orang tidak bagus, padahal Anda jangan lupa, pendiri Republik itu para politisi yang piawai semua. Bagaimana Soekarno, bagaimana Sjahrir, bagaimana Bung Hatta, itu politisi semua, bukan jenderal.”
“Apa salahnya orang politik?” Tanya Akil Mochtar.
Salahnya orang politik adalah membuat hukum sebagai alat dan senjata politik mereka, sekaligus memanfaatkan jabatannya untuk memperkayakan parpol-nya dan dirinya sendiri. Terbukti dari sistem yang berlaku untuk memilih sembilan hakim konstitusi, dengan satu di antaranya menjadi Ketua MK itu. Kenapa harus melalui lembaga politik untuk melakukan pemilihan dan penentuan hakim-hakim konstitusi itu? Tak heran kalau lembaga ini kelak akan terus terkontaminasi dengan berbagai kepentingan-kepentingan politik yang bermuara para praktik-praktik korupsi. Maka itu, sistem ini harus diubah, jangan lagi melibatkan lembaga politik (presiden dan DPR), kalau tidak lebih baik MK ini dibubarkan saja.
Tidak semua orang politik itu masuk neraka. Tetapi hanya mereka yang menerima suap alias koruptor. Apalagi ketika melakukan itu mereka sedang menjabat sebagai ketua dari sebuah lembaga hukum semulia dan setinggi Mahkamah Konstitusi. Maka, tak berlebihanlah pernyataan dari Ketua KPK Abraham Samad, yang setuju Ketua MK Akil Mochtar itu dituntut hukuman mati saja.
Bicara soal hukuman mati bagi koruptor, kita pun teringat ucapan Akil Mochtar. Dia pada 12 Maret 2012, pernah berujar tentang itu, “Ini ide saya, dibanding dihukum mati, lebih baik dikombinasi pemiskinan dan memotong salah satu jari tangan koruptor saja cukup.”
Bagaimana jika Akil Mochtar sebagai orang pertama yang akan menerima hukuman yang dia usulkan sendiri ini?
Kata Akil Mochtar lagi, banyak politisi yang baik. Stigma politisi itu sama dengan kebobrokan itu karena sekarang ini banyak yang bobrok. Akil Mochtar dengan telak telah menempatkan dirinya sendiri sebagai bagian dari “banyak politisi bobrok yang menciptakan stigma bobrok kepada politisi” itu.
Soekarno, Sjahrir, dan Bung Hatta adalah politisi-politisi pendiri Republik ini, dan teladan bangsa ini, sangatlah menghina mereka jika dibandingkan dengan politisi-politisi koruptor yang saat ini sangat luar biasa banyaknya di negara ini. Yang sekarang ini baru saja bertambah satu, yang bernama Akil Mochtar. Politisi-politisi koruptor itu adalah pengkhianat terhadap cita-cita para pendiri Republik ini.

Akil Mochtar Orang yang Sangat Bodoh
Akil Mochtar berkata, “Kita sudah berjuang sekian lama lalu merobohkan harkat dan martabat kita sendiri itu untuk apa. Saya itu miskin sudah sejak muda, SMP kelas 2 ayah saya bilang sudah tidak mampu lagi menyekolahkan saya, lalu mempersilahkan saya untuk maju merantau. Kalau orang yang berlatar belakang miskin itu biasanya tamak dengan harta, tapi itu moralitas, saya tidak diajarkan seperti itu oleh orangtua saya.”
Pertanyaannya: Kalau memang orangtua anda tidak mengajarkan anda seperti itu, kenapa sekarang menjadi seperti itu?
Saya mau cari apa? Anak saya dua, yang satu sudah kerja, rumah ada, fasilitas ada, makan gaji saja tiap bulan sebagai hakim itu cukup berlebihan luar biasa, masa saya mau korupsi. Lalu karir yang kita bangun bagaimana, hanya orang bodoh yang mau seperti itu. Tidak semua orang bisa duduk di posisi seperti itu masa kita mau merusak dengan hal-hal seperti itu.
Ternyata, Akil Mochtar adalah orang yang serakah dan sangat bodoh!

Jadi, Hakim Konstitusi Lain Juga Terlibat?
Pernah ditanyakan kepada Akil Mochtar, bagaimana peluang adanya intervensi pihak luar untuk menitiplan perkara ke MK?
Dengan yakin Akil menjawab, “Itu tidak mungkin, bagaimana caranya titip? Wong yang memutus perkara itu sembilan orang. Pilkada itu boleh diperiksa tiga orang, tapi yang memutus sembilan orang, makanya sidang putusannya harus sembilan orang. Kalau soal titip perkara itu saya jamin tidak mungkin bisa.
Jaminan dari Akil Mochtar itu suatu kebohongan, karena apa yang diakatakan tidak mungkin itu sebenarnya sangat mungkin. Tergantung dari mentalitas masing-masing hakim konstitusi itu.
Bagaimana caranya? Caranya, ya, semua atau sebagian besar hakim konstitusinya dikasih bagian, kan? Maka, itu, Akil Mochtar mau menerima uang suap itu? Kalau tidak begitu, kenapa bisa Akil menerima suap itu? Percuma ‘kan kalau hanya dia saja yang disogok, sedangkan hakim konstitusi lainnya berpendapat lain? Jadi, apakah ada hakim konstitusi lainnya juga terlibat?
*
Tragis benar nasib Akil Mochtar ini. Ternyata semua pernyataan-pernyataan antikorupsinya yang begitu bijak kedengarannya hanyalah bualan saja. Merupakan kamuflase dari perilakunya yang sebenarnya.
Apa yang dilakukan oleh Akil Mochtar ini bertentangan dengan apa yang diakatakan tentang ayahnya: “Wak (ayah) saya itu mengajarkan tidak dengan omongan, tapi dengan perilaku.” (Dikutip dari profil Akil Mochtar di situs Mahkamah Konstitusi).

Akil Mochtar mengajarkan dengan omongan, tidak dengan perilaku. ***
 
Sumber Informasi mengenai pernyataan-pernyataan Akil Mochtar tersebut di atas berasal dari laman-laman di bawah ini:


Signature by           
                      DAENG LIRA