Tanggal
14 Agustus 2013, ketika Ketua SKK Migas Rudi Rubiandini ditangkap KPK,
semua orang sangat kaget, semua orang juga sepakat inilah penangkapan
terbesar dalam sejarah KPK. Namun, belum genap dua bulan kemudian, Rabu,
2 Oktober 2013, sekitar pukul 21:45 WIB, semua orang dibuat sangat,
sangat, kaget luar biasa, ketika “rekor” itu dipecahkan oleh Akil
Mochtar, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Akil Mochtar, yang baru saja
dilantik sebagai Ketua MK pada 3 April 2013 itu ditangkap KPK di rumah
dinasnya karena diduga telah menerima uang suap dalam bentuk dollar
Singapura, yang jika dirupiahkan bernilai sekitar Rp 3 miliar. Bersama
dia, KPK juga menangkap anggota Fraksi Partai Golkar Chairun Nisa dan
Panitera Pengganti berinisial DH. Sedangkan Bupati Gunung Emas Hambit
Bintih dan seorang pengusaha berinisial CN ditangkap KPK di sebuah
hotel.
Kasus
ini diduga berkaitan dengan sengketa hasil Pilkada di Kabupaten Gunung
Emas, Kalimatan Tengah yang sedang disidangkan oleh MK dengan Ketua
Majelis Hakimnya adalah Akil Mochtar ini.
Ketika Rudi
Rubiandini ditangkap KPK, Akil Mochtar langsung mempublikasikan
komentarnya via akun Twitter-nya @akilmochtar, dengan kalimat: “Quovadis
SKK Migas? Menyedihkan…Sekaligus mempermalukan bangsa.”
Kalau
Kepala SKK Migas Rudi Rubianto yang jabatannya tak ada kaitannya dengan
penegakan hukum saja dibilang Akil Mochtar menyedihkan dan mempermalukan
bangsa, bagaimana dengan Akil Mochtar sendiri yang Ketua Mahkamah
Konstitusi ini? Mahkamah Konstitusi adalah benteng terakhir penegakan
hukum menyangkut perkara-perkara sengketa tentang hasil pemilu, sengketa
kewenangan lembaga negara, menguji peraturan perundang-undangan
terhadap UUD 1945, dan pembubaran partai politik. Jelas peristiwa ini
sangat jauh lebih menyedihkan sekaligus sangat jauh lebih memalukan
bangsa! Istilah yang lebih pas adalah “kiamat kecil” bagi dunia hukum
Indonesia (seperti yang dikatakan ICW).
Status
Akil Mochtar kini telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan oleh
KPK. Ternyata, bukan hanya menyangkut sengketa hasil Pilkada Kabupaten
Gunung Mas yang membuatnya dijadikan tersangka dan ditahan KPK, tetapi
juga menyangkut sengketa hasil Pilkada Kabupaten Lebak, Banten.
“Hakim Setengah Iblis”
Inilah
yang sesungguhnya merupakan penangkapan terbesar yang pernah dilakukan
KPK sejak lembaga antirasuah itu dilahirkan pada 2002, dan sekaligus
paling memalukan dalam sejarah hukum Indonesia. Sulit membayangkan
peristiwa itu justru terjadi di semua lembaga negara semulia Mahkamah
Konstitusi. Lebih-lebih lagi justru melibatkan Ketua-nya sendiri! Namun
itulah yang kini terjadi.
Akibat
peristiwa ini hukum di Indonesia akan semakin terdegradasi di mata
publik. Bayangkan saja, sebuah lembaga pengadilan yang selama ini begitu
dipercaya setelah KPK, ternyata sedemikian penuh dengan kemunafikan dan
kebobrokannya. Tak berlebihan jika kita juga mencurigai delapan hakim
konstitusi lainnya, apakah memang mereka bersih, ataukah tak beda dengan
Akil? Kita juga patut mempertanyakan kualitas dan akuntabiliras dari
sistem uji kepatutan dan kelayakan terhadap Akil Mochtar yang dilakukan
oleh Komisi III DPR itu.
Demikian
juga dengan kader-kader partai politik yang melekat pada sosok para
hakim konstitusi itu. Halmana sudah serng dipermasalahkan sebagian
orang, tetapi tak digubris. Sulit rasanya untuk tidak mengalami konflik
kepentingan ketika menyidangkan suatu perkara, seperti sengketa Pilkada
yang melibatkan para pihak yang berasal juga dari parpol atau didukung
parpol tertentu? Ingat juga bagaimana kontroversialnya pengangkatan
Patrailis Akbar sebagai anggota hakim konstitusi oleh Presiden SBY pada
12 Agustus 2012?
Hakim-hakim
konstitusi dari partai politik menimbulkan banyak kekhawatiran akan
merusak MK.Oleh karena itu desakan agar Komisi Yudisial (KY)
dikembalikan kewenangannya untuk mengawasi hakim-hakim konstitusi
diajukan, tetapi ditolak MK. Ini saja sudah menimbulkan suatu
kejanggalan tersendiri. Kalau benar-benar yakin bersih, kenapa takut
kalau ada yang mau mengawasinya?
Seharusnya ketentuan undang-undangnya direvisi, dengan melarang kader parpol/politisi menjadi hakim konstitusi.
Pada Agustus
2006 MK menghapus kewenangan Komisi Yudisial (KY) untuk mengawasai
hakim MK. Pada Agustus 2013 permintaan agar KY berwenang kembali
mengawasi hakim MK ditolak mentah-mentah. Akil Mochtar sebagai Ketua MK
mengatakan, tidak ada alasan untuk mengawasi hakim MK, mengingat kinerja
MK sangat bagus dan dipercaya masyarakat. Seolah-olah hakim-hakim
konstitusi itu adalah hakim-hakim “setengah dewa”, terutama Ketuanya,
yang ternyata “setengah iblis.”
Akil Mochtar Memang Bukan Mahfud MD
Ketika diwawancarai viva.co.id pada
21 April lalu, Akil Mochtar menolak kalau dia akan berada di bawah
bayang-bayang Mahfud MD, Ketua MK sebelumnya yang berkharismatik. Akil
menepis anggapan itu, katanya, “Saya dibilang dibawah bayang-bayang
Mahfud. Tidak juga, saya punya karakter yang berbeda dengan beliau.”
Perbedaan
karakter itu kini terbuktikan. Jika Mahfud MD sampai akhir masa
jabatannya bersih dari kasus korupsi, sebaliknya dengan Akil Mochtar,
dia ternyata sosok yang sangat kontradiksi sekaligus sangat memalukan,
dia adalah Ketua Mahkamah Konstitusi berkarakter koruptor! Perusak citra
MK sekaligus penista hukum.
Akil Mochtar Memang Orangnya Tidak Baik, Makanya …
Sebenarnya,
sebelum dipilih sebagai Ketua MK, sempat mencuat beberapa kabar yang
meragukan integritas Akil Mochtar sebagai Ketua MK. Namun, di laman
pribadinya, seperti yang dikutip Tempo.co, ketika itu, Akil
meresponnya dengan menulis, banyaknya tudingan negatif dengan posisinya
di MK itu karena “Mungkin karena orang melihat saya mantan politisi,
mantan anggota DPR yang flamboyan. Tapi, jika saya orangnya tidak baik,
pastinya saya tidak akan berada di Jl Medan Merdeka Barat (Gedung MK)
ini. Saya akan berada di Kuningan, di tahanan KPK,” ujarnya.
Sekarang,
Akil Mochtar termakan ucapannya sendiri. Dia membuktikan dirinya
sendiri, ternyata orang yang sangat tidak baik, maka itu kini dia berada
di Kuningan, di tahanan KPK.
Ternyata, Akil Mochtar yang Masuk Penjara
Pada
Desember 2010, Akil Mochtar pernah dilaporkan ke Ketua MK Mahfud MD,
dengan tuduhan telah menerima suap dari Jopinus Ramli Saragih (kini
Bupati Simalungun) ketika menyidangkan kasus sengketa Pilkada Kabupaten
Simalungun, April 2010. Ketika itu ketua majelis hakim konstitusinya
adalah Akil Mochtar, dan kasus itu dimenangkan oleh Jopinus.
Laporan
itu disampaikan oleh pengacara Jopinus sendiri, Refly Harun. Dalam
testimoninya ketika itu (Desember 2012) Refly Harun mengatakan, Jopinus
yang telah menjadi Bupati Simalungun itu pernah memintanya untuk
menurunkan biaya pengacaranya menjadi Rp 2 miliar saja. Karena duit
sebesar Rp 1 miliar akan diberikan si bupati kepada Akil Mochtar.
Namun,
karena kurang bukti, akhirnya kasus ini menguap begitu saja. Bahkan
ketika itu Akil Mochtar pun melapor balik Refly Harun kepada KPK,
dengan tuduhan telah melakukan percobaan pemerasan.
Ketika itu Akil dengan nada emosi mengatakan, “Saya atau dia yang masuk penjara!”
Ternyata, yang masuk penjara bukan Refly Harun, tetapi Akil Mochtar.
“Orang Bodoh,” “Orang Pintar,” dan “Orang Beruntung”
Ketika
diminta komentarnya tentang adanya pihak-pihak tertentu yang meragukan
kepatutannya menjadi Ketua MK (April 2013), Akil Mochtar mengatakan,
“Kalau saya tidak bisa menjaga netralitas atau saya dianggap orang yang
tidak bisa menjaga diri, tidak mungkin saya dipilih menjadi Ketua MK
oleh delapan hakim. Mereka itu orangnya pintar-pintar, objektif,
rasional, dan semua guru besar. Kalau saya tidak netral kenapa mereka
pilih saya.”
Orang
pintar, obyektif, rasional, dan guru besar sekalipun, tidak menjamin
kalau dia itu bersih, jujur, kebal suap, dan bukan koruptor. Bukti tak
terbantahkan adalah Akil Mochtar itu sendiri. Dia adalah S3 Doktor Ilmu
Hukum dari Universitas Pajajaran, Bandung.
Orang-orang
pintar, guru besar, dan lain-lain sejenisnya itu bisa saja terperdayai
ketika memilih seorang Ketuanya yang ternyata lebih pintar dan lebih
licik daripada mereka, atau bisa jadi karena yang terjadi adalah
pemilihan ketua di antara “sesama teman sealiran.”
Seperti
pameo yang berbunyi: Orang bodoh dikalahkan orang pintar, orang pintar
dikalahkan oleh orang licik, dan orang licik dikalahkan oleh orang yang
beruntung. Dalam konteks ini “orang bodoh” adalah delapan hakim
konstitusi yang memilih Akil Mochtar sebagai Ketua MK, dan publik yang
selama ini mengira Akil Mochtar itu adalah seorang yang memang layak
menjadi Ketua MK, “orang pintar” itu adalah Akil Mochtar. Sedangkan
“orang beruntung” adalah KPK yang sukses menangkap basah Akil Mochtar
yang diduga telah menerima uang suap itu.
Politisi Bobrok
Akil
Mochtar pernah mengatakan: “Hakim MK itu dipilih oleh tiga lembaga (3
dari DPR, 3 dari Mahkamah Agung, 3 oleh Presiden). Lembaganya saja sudah
lembaga politik, pasti ada proses politik disana. Lalu apa salahnya
orang politik? Memang semua orang politik masuk neraka? Banyak politisi
yang baik. Stigma itu ada karena politisi sekarang itu banyak yang
bobrok, jadi image orang tidak bagus, padahal Anda jangan lupa,
pendiri Republik itu para politisi yang piawai semua. Bagaimana
Soekarno, bagaimana Sjahrir, bagaimana Bung Hatta, itu politisi semua,
bukan jenderal.”
“Apa salahnya orang politik?” Tanya Akil Mochtar.
Salahnya
orang politik adalah membuat hukum sebagai alat dan senjata politik
mereka, sekaligus memanfaatkan jabatannya untuk memperkayakan parpol-nya
dan dirinya sendiri. Terbukti dari sistem yang berlaku untuk memilih
sembilan hakim konstitusi, dengan satu di antaranya menjadi Ketua MK
itu. Kenapa harus melalui lembaga politik untuk melakukan pemilihan dan
penentuan hakim-hakim konstitusi itu? Tak heran kalau lembaga ini kelak
akan terus terkontaminasi dengan berbagai kepentingan-kepentingan
politik yang bermuara para praktik-praktik korupsi. Maka itu, sistem ini
harus diubah, jangan lagi melibatkan lembaga politik (presiden dan
DPR), kalau tidak lebih baik MK ini dibubarkan saja.
Tidak
semua orang politik itu masuk neraka. Tetapi hanya mereka yang menerima
suap alias koruptor. Apalagi ketika melakukan itu mereka sedang menjabat
sebagai ketua dari sebuah lembaga hukum semulia dan setinggi Mahkamah
Konstitusi. Maka, tak berlebihanlah pernyataan dari Ketua KPK Abraham
Samad, yang setuju Ketua MK Akil Mochtar itu dituntut hukuman mati saja.
Bicara
soal hukuman mati bagi koruptor, kita pun teringat ucapan Akil Mochtar.
Dia pada 12 Maret 2012, pernah berujar tentang itu, “Ini ide saya,
dibanding dihukum mati, lebih baik dikombinasi pemiskinan dan memotong
salah satu jari tangan koruptor saja cukup.”
Bagaimana jika Akil Mochtar sebagai orang pertama yang akan menerima hukuman yang dia usulkan sendiri ini?
Kata
Akil Mochtar lagi, banyak politisi yang baik. Stigma politisi itu sama
dengan kebobrokan itu karena sekarang ini banyak yang bobrok. Akil
Mochtar dengan telak telah menempatkan dirinya sendiri sebagai bagian
dari “banyak politisi bobrok yang menciptakan stigma bobrok kepada
politisi” itu.
Soekarno,
Sjahrir, dan Bung Hatta adalah politisi-politisi pendiri Republik ini,
dan teladan bangsa ini, sangatlah menghina mereka jika dibandingkan
dengan politisi-politisi koruptor yang saat ini sangat luar biasa
banyaknya di negara ini. Yang sekarang ini baru saja bertambah satu,
yang bernama Akil Mochtar. Politisi-politisi koruptor itu adalah
pengkhianat terhadap cita-cita para pendiri Republik ini.
Akil Mochtar Orang yang Sangat Bodoh
Akil Mochtar berkata, “Kita
sudah berjuang sekian lama lalu merobohkan harkat dan martabat kita
sendiri itu untuk apa. Saya itu miskin sudah sejak muda, SMP kelas 2
ayah saya bilang sudah tidak mampu lagi menyekolahkan saya, lalu
mempersilahkan saya untuk maju merantau. Kalau orang yang berlatar
belakang miskin itu biasanya tamak dengan harta, tapi itu moralitas,
saya tidak diajarkan seperti itu oleh orangtua saya.”
Pertanyaannya: Kalau memang orangtua anda tidak mengajarkan anda seperti itu, kenapa sekarang menjadi seperti itu?
“Saya
mau cari apa? Anak saya dua, yang satu sudah kerja, rumah ada,
fasilitas ada, makan gaji saja tiap bulan sebagai hakim itu cukup
berlebihan luar biasa, masa saya mau korupsi. Lalu karir yang kita
bangun bagaimana, hanya orang bodoh yang mau seperti itu. Tidak semua
orang bisa duduk di posisi seperti itu masa kita mau merusak dengan
hal-hal seperti itu.
Ternyata, Akil Mochtar adalah orang yang serakah dan sangat bodoh!
Jadi, Hakim Konstitusi Lain Juga Terlibat?
Pernah ditanyakan kepada Akil Mochtar, bagaimana peluang adanya intervensi pihak luar untuk menitiplan perkara ke MK?
Dengan yakin Akil menjawab, “Itu tidak mungkin, bagaimana caranya titip? Wong
yang memutus perkara itu sembilan orang. Pilkada itu boleh diperiksa
tiga orang, tapi yang memutus sembilan orang, makanya sidang putusannya
harus sembilan orang. Kalau soal titip perkara itu saya jamin tidak
mungkin bisa.
Jaminan
dari Akil Mochtar itu suatu kebohongan, karena apa yang diakatakan tidak
mungkin itu sebenarnya sangat mungkin. Tergantung dari mentalitas
masing-masing hakim konstitusi itu.
Bagaimana
caranya? Caranya, ya, semua atau sebagian besar hakim konstitusinya
dikasih bagian, kan? Maka, itu, Akil Mochtar mau menerima uang suap itu?
Kalau tidak begitu, kenapa bisa Akil menerima suap itu? Percuma ‘kan
kalau hanya dia saja yang disogok, sedangkan hakim konstitusi lainnya
berpendapat lain? Jadi, apakah ada hakim konstitusi lainnya juga
terlibat?
*
Tragis
benar nasib Akil Mochtar ini. Ternyata semua pernyataan-pernyataan
antikorupsinya yang begitu bijak kedengarannya hanyalah bualan saja.
Merupakan kamuflase dari perilakunya yang sebenarnya.
Apa yang dilakukan oleh Akil Mochtar ini bertentangan dengan apa yang diakatakan tentang ayahnya: “Wak (ayah) saya itu mengajarkan tidak dengan omongan, tapi dengan perilaku.” (Dikutip dari profil Akil Mochtar di situs Mahkamah Konstitusi).
Akil Mochtar mengajarkan dengan omongan, tidak dengan perilaku. ***
Sumber Informasi mengenai pernyataan-pernyataan Akil Mochtar tersebut di atas berasal dari laman-laman di bawah ini:
- Tempo.co
Signature by
DAENG LIRA |