Sabtu, 02 Agustus 2014

Ini Budi Ini Hutang Budi





 Budi, Jasa, dan si Lamporo

Si Lamporo temannya si Budi
Lamporo, seorang kenalan, warga Bogor. Saat berkunjung ke Sulawesi beberapa tahun lalu, menceritakan pengalaman perjalanannya. Katanya, 'Amat mengesankan.' Tidak ada pengalaman pahit yang diperoleh selama kunjungannya ke berbagai tempat wisata, mulai dari Makassar, Gowa, dan Bantaeng, kecuali di Jeneponto.

Satu pengalaman yang kurang berkenan di hatinya ketika di Jeneponto, saat ada orang yang berniat membantunya, namun menurut penilaiannya ada maksud 'menipu'. Untungnya Lamporo cepat tanggap. Tidak terjerat oleh niat jahat tersebut.

Sebelum ke Sulawesi, Lamporo sempat mampir ke Bali selama 2 hari. Tinggal di hotel berbintang, service memuaskan. Tentu saja dia harus bayar untuk semua itu. Paket wisata selama di Bali membuatnya terhibur meski mahal harganya. Jasa wisata memang tidak ada yang gratis, demikian akunya.

Ketika Lamporo di Malino, dia bertemu dengan seorang sopir asal Tombolo-Gowa yang sudah lama bermukim di sana. Sopir tersebut memperlakukannya begitu baik. Dia bersedia mengantarkan Lamporo hingga ke tempat tujuannya.

Sang sopir marah ketika Lamporo menyodorkan sejumlah Uang sebagai imbalan jasanya. Lamporo agak heran dengan perlakuan si sopir, sebuah sikap yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya, bahwa di Malino, negara super komersial ini, ternyata bisa menemui orang yang begitu tulus membantu, tanpa pamrih, atau minta balasan.

***

Budi, jasa baik, bantuan, pertolongan, atau apapun namanya yang mengarah kepada kebaikan dalam kehidupan ini, layaknya sebuah roda yang selalu bergulir, menyertai perbuatan-perbuatan kita, komersial atau sukarela.

Budi baik atau jasa baik dalam kamus ekonomi tidak sama pengertiannya. Budi baik lebih condong kepada suatu perbuatan yang murni dilakukan tanpa pamrih. Sedangkan jasa lebih bersifat komersial.

Pengalaman Lamporo di atas menarik. Di Malino, Lamporo mendapatkan jasa tanpa bayar, sekaligus budi baik dari si sopir Pete-pete. Namun ketika dia di Bali, tinggal di hotel dan harus bayar untuk kepentingan wisatanya, didapatkannya jasa (service) karena Lamporo harus membayar semua 'kebaikan' yang diterimanya. Sedangkan pengalamannya di Jeneponto, termasuk kategori jasa atau budi 'baik' yang diberikan dengan pamrih, malah lebih buruk daripada itu, karena terbersit niat jahat di dalamnya.

***

Selama hidup sebagai makhluk sosial, kita selalu butuh bantuan dan keberadaan orang lain, secara langsung ataupun tidak. Meski demikian, ada sementara orang yang berprinsip untuk tidak bergantung sama sekali pada bantuan orang lain. Saya pernah temui, orang-orang yang memang benar-benar memegang prinsip ini dengan 'kaku'nya. Tidak pernah mau memberi, juga tidak pernah bersedia menerima pemberian orang lain.

Prinsip semacam ini, bagi kita yang melandaskan kehidupan sosial dan agama sebagai fondasi kehidupan, tidak ubahnya prinsip 'omong kosong'. Karena, kita nyaris tidak bisa berdiri sendiri tanpa keterlibatan manusia lain.

Andainyapun kita harus tinggal di hutan sendirian misalnya, karena naluri sosial kemanusiaan ini, kita tidak akan pernah mampu berdiri sendiri. Kita akan memaksanakan diri harus berinteraksi dengan makhluk lain di sekitar, yang ada di hutan, kera, harimau, atau gajah.

***

Ta'Bula'nyi, seorang rekan kerja, selama lebih dari 6 tahun ini memutuskan hidup sendiri, kost, di kamarnya. Dia katakan hidup 'sharing' itu serba repot dan membuat posisi dia sebagai individu terbebani secara mental, tidak ada privasi, dan terlalu banyak pertimbangan jika harus melakukan ini dan itu.

Akhirnya, diputuskan untuk mengundurkan diri dari tempat kerja. Merasa tidak betah lagi. Entah mana maksud tidak betahnya, di tempat kerja atau di kamar, kurang jelas. Yang pasti, kesendiriannya menjadi faktor yang cukup berperan dalam pengambilan keputusannya untuk tidak bekerja lagi.

Bagi Ta'Bula'nyi, tinggal bersama orang lain akan bermasalah. Namun, sendirian juga tidak mampu menyelesaikan masalah. Di satu pihak, tinggal bersama orang lain, membuat dia harus melakukan 'kebaikan' ini dan itu, yang cukup merepotkan. Di lain pihak, tidak berbuat baik kepada orang lain, juga menyengsarakan diri sebagai makhluk sosial.

***

Berbuat baik, berbudi baik, berjasa baik, yang bisa kita terima adalah yang sesuai norma masyarakat dan agama, yakni budi baik murni, ikhlas, dan jasa baik dengan imbalan jasa.

Jika ke luar dari keduanya bisa dikatakan keluar dari norma. Alias abu-abu. Artinya, masyarakat umum tidak bisa menerimanya.

Pekerjaan di rumah sakit, hotel, pemandu wisata merupakan contoh pekerjaan-pekerjaan yang terkait dengan jasa yang membutuhkan imbalan jasa dan bisa diterima oleh masyarakat kita.

Menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat atau memberi bantuan sandang dan pangan kepada kaum miskin adalah budi baik yang nilainya mulia dalam kamus agama dan sosial kemasyarakatan.

Namun, menyantuni anak yatim dengan harapan bisa menikmati sebagian dari harta peninggalan orangtua anak tersebut adalah menyimpang.

Hidup kita seringkali dihadapkan kepada dilema, di mana ada orang-orang yang berniat memberikan bantuan, tapi dengan 'catatan' (baca : pamrih).

Di kantor-kantor pemerintahan misalnya, hal ini amat umum terjadi, bahkan membudaya. Seorang kepala tata usaha atau personalia seringkali menunjukkan sikap amat membantu mengurusi kepegawaian karyawan baru, dengan harapan sang karyawan akan memberikan 'sesuatu' kepadanya, sesudah urusan kepegawaian tersebut rampung.

Beberapa teman pernah terjebak dalam 'urusan kepegawaian yang manis' ini. Mereka bilang, “Mana ada orang yang berbuat baik tanpa berharap sesuatu?”

Tidak dipungkiri, kita pernah lihat dan jumpai orang-orang yang ikhlas dalam berbuat kebaikan. Akan tetapi, sepertinya sulit sekali mendapatkan orang yang dengan tulus rela membantu meringankan beban derita orang lain. Jika ada orang yang menawarkan niat baiknya untuk membantu, sebagian orang menolaknya (hati-hati), karena mereka tidak mau terjerat oleh hutang budi ini.

Lain halnya dengan apa yang terjadi pada jamannya Rasulullah dan sahabat-sahabat beliau. Hutang budi jaman sekarang, adalah fenomena. Rasululah SAW sendiri dalam do'a-do'anya selalu memohon kepada Allah SWT untuk dihindarkan dari hutang-hutang.

Meski secara eksplisit tidak kemukakan persoalan hutang budi ini, kita bisa pahami pengertian yang mendalam di dalamnya. Bahwa hutang budi adalah hutang yang terkadang nilainya jauh lebih besar dibanding hutang uang yang masih bisa diukur nilainya. Coba hitung nilai omongan seseorang yang, misalnya, mengatakan, "Si Fulan tidak akan bisa jadi pegawai negeri di situ, bila tidak saya tolong!"

Perkataan semacam ini sudah tentu amat menyakitkan Si Fulan, sekalipun itu benar. Sikap di atas bisa diartikan menyakiti pemberian yang membatalkan pahala, karena tidak dilandasi dengan rasa ikhlas.

Demikianlah, kita acapkali dihadapkan kepada pemberian-pemberian atau tawaran-tawaran yang kadang membuat kita tidak kuasa menolaknya. Dalam kondisi begini kita 'dipaksa' untuk berhutang budi pada seseorang.

Kita tahu, menolak pemberian orang itu kurang baik. Namun jika diterima, kuatir terjebak dilema di atas.

Oleh karenanya, harus pandai-pandai melihat situasi. Misalnya, pantas tidaknya kita terima tawaran niat baiknya; apakah kita orang yang tepat menerimanya; dalam keadaan bagaimana bantuan tersebut diberikan; apakah kita harus mengembalikannya, dan sebagainya.

Pertimbangan-pertimbangan ini perlu, agar kita tidak gundah juga terhindar dari hutang budi yang kurang pada tempatnya. Kecuali, naluri kita tahu, bahwa niat pemberian tersebut benar-benar ikhlas. Di samping, kita adalah orang yang pantas menerimanya.

Jika tidak, katakan saja, "No. Thanks!" sebagai jawaban yang paling tepat terhadap tawaran tersebut.

Catatan: Nama dan tempat adalah fiktif.



Signature by           
                      DAENG LIRA