Rabu, 28 Agustus 2013

Cara Polisi Amerika Menginterogasi


ini adalah lanjutan dari postingan saya tentang Interogasi

Ada aja pengemar serial “Law & Order” di seluruh penjuru dunia yang menyangka mereka bisa bikin penjahat mengakui perbuatannya. Tinggal kasih cahaya super terang di depan muka tertuduh, ngomong sangat dekat di muke tertuduh, ngomong di depannya bahwa semua sidik jarinya sudah berada di senjata pembunuhan.  Dia langsung mengakui kejahatannya. Dalam kehidupan nyata, interogasi polisi memerlukan lebih dari sekedar rasa PD dan kreatifitas (walaupun tentu saja perlu) — tukang interogasi dilatih secara mendalam di bidang taktik psikologi dan pengaruh sosial.

Bikin seorang ngaku bahwa dia yang melakukan kejahatan bukanlah pekerjaan yang mudah, bahkan seringnya para detektif dapat pengakuan ‘tidak bersalah’ padahal meeka sudah menggunakan teknik manipulasi psikologi. Tidak ada dua interogasi yang sama hasilnya, kebanyakan sih mengeksploitasi kelemahan alami manusia. Kelemahan ini biasanya tergantung pada tekanan yang dihasilkan ketika orang mengalami keadaan ekstrem yang berlawanan, seperti dominasi dan terdominasi, kontrol dan yang dikontrol, pemaksimalan dan peminimalan konsekuensi. Bahkan penjahat paling kakap pun bisa berujung pada pengakuan jika tukang interogasinya bisa menemukan kombinasi yang pas antara teknik dan keadaan berdasar pada kepribadian tersangka dan pengalamannya. Di Amerika Serikat, para ahli memperkirakan bahwa antara 42 ke 55 persent tersangka pelaku kejahatan akhirnya mengakui kejahatannya selama proses interogasi.

Apakah polisi harus berbohong ?
Apakah polisi dibolehkan berbohong kepada tersangka biar dapet pengakuan ? Kenapa dan kenapa tidak ?


Giliran luh sekarang buat ngejawab ! Masak gua mulu…!


Interogasi polisi tidaklah selalu sulit. Sampai awal tahun 1900-an di Amerika Serikat, metode siksaan fisik diijinkan (jika tidak legal) biar ngaku. Pengakuan bisa diperoleh dengan “teknik ketiga” — tidak dikasih makan dan minum, lampu terang benderang, bikin tidak nyaman badan dan pengisolasian dalam waktu lama, dipukulin pake pentungan karet dan peralatan lainnya yang tidak menimbulkan luka luar — biasanya sih diterima sebagai alat bukti syah di pengadilan sepanjang tersangka menandatangani surat pemeriksaaan bahwa pengakuan itu ‘tidak dibawah tekanan ataupun penyiksaan”. Antara tahun 1930-an dan 1960-an, akhirnya, akibat tekanan masyarakat atas perilaku brutal interogasi polisi ini maka teknik interogasi perlahan-lahan berubah.


Walaupun MA Amerika telah menetapkan aturan hukum yang melarang pengakuan di bawah tekanan atau siksaan sejak awal tahun 1897, tapi baru di tahun 1937 itu bener-bener dijalanin. dalam kasus Brown melawan Negara Bagian Mississippi, MA tidak mengakui pengakuan “tanpa tekanan” yang didapat polisi setelah mengantung tersangka di pohon secara terbalik dan dicambuki secara terus-menerus. Keputusan pengadilan jelas : pengakuan yang didapat dengan paksaan dan siksaan tidak bisa digunakan sebagai bukti dalam pengadilan. Di tahun 1950-an, pengakuan dianggap sebagai ‘dibawah tekanan’ bukan hanya kalo polisi menyiksa tersangka saja, tapi juga kalo mereka menahan polisi lebih dari jangka waktu penahanan, melarang tersangka tidur, makan, minum dan ke kamar mandi, menjanjikan keuntungan kalo tersangka mengaku ataupun sebaliknya, mengancam tersangka bila tidak mengaku.


Ketika kasus Miranda melawan Negara Bagian Arizona sampai ke MA di tahun 1966, interogasi polisi yang penuh siksan menimbulkan kegemparan lagi. Ernesto Miranda mengaku melakukan pemerkosaan dan penculikan setelah dua jam interogasi, dan banding di MA beralasan bahwa Miranda tidak tahu akan haknya untuk tetap diam ( Amandemen ke-Lima UU Amerika) dan didampingi (Amandemen ke-enam). Pengadilan akhirnya membebaskan Miranda, dan keputusan itu kita kenal sebagai “Miranda Rights.” Untuk menghindari hal yang demikian maka polisi Amerika harus ngomong, secara jelas dan lengkap kepada tersangka tentang hak-haknya untuk tetap diam dan didampingi pengacara sebelum memulai interogasi atau upaya yang lain guna medapatkan pengakuan dari tesangka. Keputusan pengadilan terhadap Miranda tadi mencoba untuk menghilangkan ketidaktahuan tersangka sebagai sebuah faktor yang meringankan dalam hal ‘pengakuan dibawah tekanan.’


Sebagai pengganti metode penyiksaan, polisi mengubah teknik interogasi dengan teknik dasar-dasar psikologi seperti metode “polisi baik dan jahat” , yaitu satu detektif menekan dan pura-pura ngamuk ke tersangka yang sedang diinterogasi sedangkan yang lainnya pura-pura tidak melihat. Orang cenderung percaya dan bicara kepada orang yang mereka yakini sebagai sang pelindung. Teknik dasar yang lain adalah pemaksimalan, yaitu polisi menakut-nakutin tersangka tentang hal-hal menakutkan yang bakal dialami tersangka bila dia terbukti melakukan kejahatan tersebut. Ketakutan cenderung membikin orang bicara.


Untuk saat ini, polisi mencoba beberapa hal antara lain dengan polygraph (mesin pendeteksi kebohongan) untuk menentukan apakah tersangka jujur atau tidak, tapi polygraph dan training polygraph itu mahal sekali, dan hasilnyapun hampir selalu tidak diakui di pengadilan. Tapi buat beberapa analis polygraph, termasuk seseorang yang bernama John Reid, mencatat bahwa subyek yang melihat-lihat sesuatu di luar ruangan, tanda-tanda fisik yang konsisten berhubungan dengan hasil polygraph bahwa orang itu sedang berbohong. Reid meneruskan untuk mengembangkan interogasi sistem non-mesin yang berdasarkan beberapa pertanyaan dan jawaban yang spesifik yang bisa mengatasi kelemahan tukang interogasi. Manipulasi Psikologi “Sembilan Langkah” si Reid ini adalah salah satu sistem interogasi yang paling populer di Amerika Serikat sampai sekarang.


( Yang jelas bila Amerika menginterogasi Kaum Muslimin, cuma satu cara yang digunakan polisi. Yaitu PENYIKSAAN SADIS TAK BERPERI KEMANUSIAAN, bahkan banyak yang sampai meninggal karena dianiaya polisi, red )